Beberapa waktu lalu, sekitar pertengahan Januari, saya ngobrol panjang dengan Walikota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka. Merujuk istilah "zaman now": kami main podcast-an. Mas Gibran, begitu walikota muda itu biasa disapa, bercerita banyak mengenai kondisi Solo dan bagaimana mengelolanya.
Meski ini obrolan panjang pertama dengan Mas Wali, buat saya apa yang diceritakan putra sulung Presiden Joko Widodo itu sangat faktual, dan eye opening. Ada visi yang jelas bagaimana kota Solo ditata, akan terus ditata, dan akan dibawa ke mana. Dan sebagian dari rencana dalam visinya itu sudah dilakukannya.
Tentu, tidak dilakukan sendirian, melainkan berkolaborasi dengan banyak pihak. Mulai dari pemerintah pusat, investor swasta, kampus, dan Pemerintahan Daerah Soloraya.
Mas Wali sedang mengelola sejumlah kerja besar. Misalnya mengembangkan Taman Balekambang, menata kawasan Slamet Riyadi hingga Mangkunegaran sebagai "Malioboro"-nya Solo, memfasilitasi penyelesaian simpang tujuh Joglo, menopang multimoda transportasi Soloraya, mendorong percepatan pemulihan pariwisata, dan menata ulang pasar mebel Gilingan, yang sedang didesain menjadi pusat mebel dengan meminjam model seperti IKEA.
Selain itu, Mas Wali juga telah menjalin kesepakatan dengan Pemerintah Kota Yogyakarta, untuk menyinkronkan program pariwisata Solo-Jogja, agar tidak saling bersaing melainkan saling berkolaborasi. Salah satunya adalah menyinergikan calendar of event Solo dan Jogja, sehingga turisme kedua kota yang berdekatan ini bisa saling mengisi, tidak saling berkompetisi.
Tujuannya jelas, agar kunjungan wisatawan ke Solo dan Jogja tersambung, meningkatkan hari kunjungan dan lama tinggal (length of stay) di hotel dan belanja di masing-masing kota. Misalnya, katakanlah ada event lari marathon dari Solo ke Jogja, atau sebaliknya, bisa dibuat aneka atraksi agar peserta lomba menginap dulu di Jogja dan esoknya baru kembali ke Solo. Begitu sebaliknya, sekadar contoh saja.
Berulangkali Mas Wali juga menekankan bahwa tugas pentingnya sebagai Walikota adalah memasarkan brand Solo. Bahkan ia tak keberatan saat saya sebut sebagai sales-nya kota Solo. Istilah yang lebih mentereng: Chief Sales Officer kota Solo. Karena memang seperti itulah seharusnya peran seorang Walikota; menjual brand dan potensi ekonomi kotanya, agar para turis investor datang mencipta banyak lagi peluang ekonomi dan kesempatan kerja.
***
Tidak ada kata selain sepakat dengan aneka program yang tengah dilaksanakan dan dirancang Mas Wali. Bagi Solo, visi Mas Gibran sebagai walikota tentu memberi kesempatan besar untuk semakin maju dan berkibar.
Betapa tidak. Izinkan saya mengusung beberapa contoh yang lain. Selama setahun terakhir, saya menjadi saksi banyak brand dari Jakarta datang ke Solo. Dan bukan sekadar datang, melainkan membuka fasilitas bisnis di kota Bengawan ini. Investasinya besar-besaran dan menciptakan banyak pekerjaan.
Saat saya tanya apakah brand-brand itu datang dengan sendirinya atau by design, Mas Wali tegas dan berulangkali menyatakan, "Mereka itu saya undang". Untuk berkolaborasi membangun Solo dengan "cara yang baru". Cara yang relevan dengan perkembangan bisnis dan ekonomi baru, yang relevan dengan perubahan teknologi dan perilaku konsumen dan bisnis yang baru.
Contohnya adalah Shopee. Menurut Mas Wali, perusahaan marketplace itu membuka kantor di Solo Teknopark. Mas Wali memang tengah membangun ekosistem ekonomi digital di Solo. Kota ini diharapkan menjadi hub ekonomi kreatif dan digitalisasi bisnis UMKM, melalui aktivasi kembali Solo Teknopark.
Revitalisasi Solo Teknopark ini dilakukan dengan cara kolaboratif. Mengundang sejumlah perusahaan teknologi yang menjadi motor ekonomi digital Indonesia. Termasuk Shopee tadi, yang membuka lapangan pekerjaan sekitar 2.000 orang.
Untuk mengembangkan UMKM go digital, Shopee melakukan edukasi, pelatihan, dan pendampingan secara online melalui program Kampus Shopee. Kampus UMKM Shopee Ekspor ini, selain dibangun di Solo, juga merambah Bandung, Jakarta, serta Semarang.
Ekspansi Shopee di Solo ini justru terjadi di saat pandemi. Dan ini relevan. Di saat pandemi, ketika mobilitas fisik banyak dibatasi, aktivitas bisnis dan transaksi digital merupakan keniscayaan. Ini adalah ekonomi baru, yang mau tak mau, suka tak suka, menjadi keharusan. Kita semua akan pergi berselancar lebih jauh dengan ekonomi baru: ekonomi digital.
Dan bukan hanya Shopee. Brand-brand lainnya, seperti Ralali, Grab, Ovo juga bertandang ramai-ramai ke Solo. Marketplace seperti GoTo tahun lalu juga meluncurkan program #BangkitBersamaUMKM di Solo. Para pentolan perusahaan hasil merger antara Gojek dengan Tokopedia itu bahkan datang langsung ke Solo Teknopark, termasuk Boy Thohir, Komisaris Utama GoTo.
Di sektor perbankan juga serupa. BNI juga menjadikan Solo sebagai salah satu basis berpijak. BNI mengawali program digital bagi perajin mebel di Solo, dengan layanan platform Xpora. Orientasinya adalah ekspor. Bahkan eksportir mebel nasabah BNI di Solo sempat mengalami kesulitan kontainer saat permintaan mebel dan aktivitas ekspor berlari kencang. Justru di saat pandemi.
Tak bergerak sendirian, BNI juga berkolaborasi dengan Shopee, mengelola berbagai program dari hulu ke hilir untuk mendorong dan mendukung UMKM agar kompetitif di pasar ekspor.
Nah, konsep pengembangan kota secara kolaboratif dalam reaktivasi Solo Teknopark juga diperkuat dengan menggandeng Rektor UNS Jamal Wiwoho. Tujuannya agar keberadaan Solo Teknopark sinergis dengan keberadaan kampus. Lebih dari itu, memberikan ajang adu kreativitas bagi mahasiswa dan generasi kini, yang lazim disebut milenial, untuk berkarya secara produktif dan menjadi sumber penghasilan. Kolaborasi terus bergerak dengan mengembangkan sekolah vokasi termasuk dalam mempelajari Cyber Security yang sangat vital dalam dunia ekonomi digital.
Bahkan yang belum bisa saya ungkap, sebentar lagi internasional pun akan masuk, mengungkit potensi heritage product yang menjadi kekuatan Solo dan Soloraya.
Baca Juga : BI Sebut PSN Dongkrak Perekonomian di Jateng |
---|
***
Mengikuti perkembangan kota Solo dan Soloraya akhir-akhir ini membuat saya optimistis dan penuh harapan. Kawasan ini bisa menjadi model pengelolaan ekonomi lokal berbasis pragmatisme, kreativitas dan inovasi oleh pemimpin daerahnya, dengan karakteristik entrepreneurial government. Dan kawasan ini akan jauh lebih cepat berkembang lagi bila birokratnya juga bermodal "mindset entrepreneur".
Apalagi kalau konteksnya adalah Soloraya sebagai sebuah kota aglomerasi, sebagai Jabodetabek-nya Jawa bagian tengah. Dengan ukuran pasar sejumlah 7 juta manusia yang menghuni Soloraya, terdapat peluang yang sangat besar dengan segala potensi yang dimilikinya.
Populasi Soloraya (Solo, Sragen, Karanganyar, Sukoharjo, Wonogiri, Klaten dan Boyolali) ini jelas lebih besar dari Singapura, yang hanya dihuni sekitar 6 juta orang. Dan setara dengan pertambahan kelas menengah baru di Indonesia, yang mencapai 7 juta orang per tahun. Jelas ini adalah kekuatan ekonomi yang besar.
Maka, bermodalkan karakter entrepreneurial government yang kuat, akan menjadi pengungkit potensi daerah yang besar. Mulai dari pariwisata, industri, investasi, pertanian dan sumberdaya alam lainnya. Apalagi diperkuat dengan penetrasi ekonomi digital. Lengkap sudah.
Dan Mas Wali bertekad untuk menjadikan Solo sebagai hub Soloraya dan hub ekonomi Indonesia. Tekad itu masuk akal dengan modal yang cukup kuat. Hari ini, aksesibilitas Soloraya relatif tokcer. Kawasan aglomerasi ini dilewati tol Trans-Jawa dengan setidaknya 7 gerbang tol. Kota Solo sendiri terhubung dengan 5 gerbang tol yang menjadikannya aksesibel dari mana-mana.
Kini juga tengah dibangun tol Solo-Jogja. Juga sudah tersedia Kereta Rel Listrik, Kereta Bandara, serta tengah dibangun Simpang Joglo, yang akan selesai tiga tahun lagi. Ini akan memperkuat integrasi multimoda di Soloraya. Maka, keterhubungan Soloraya menjadi sangat kuat. Mobilitas sumberdaya di Soloraya juga menjadi kian dinamis dan "dekat".
Lebih dari itu, akses konektivitas informasi dan komunikasi juga telah tersedia dengan jaringan 5G. Maka, modal infrastruktur konektivitas di kota ini jelas semakin lengkap. Maka, apabila perkembangan ekonomi digital dan ekonomi kreatif akan kian intensif, bukanlah sekadar bualan apalagi isapan jempol semata.
Saya, dan juga banyak warga Soloraya tentu berharap, pengelolaan kawasan aglomerasi ini terus berlanjut dengan kreativitas dan inovasi baru yang cerdas, pragmatis dan kolaboratif. Harapannya hanya satu: Soloraya maju saklawase, dan masyarakatnya lebih sejahtera. Itu saja.
Nah, bagaimana menurut Anda? (*)