Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengklaim tren konsumsi bahan bakar minyak atau BBM dengan nilai oktan 88 atau Premium mulai bergeser ke jenis yang lebih ramah lingkungan.
Saleh Abdurrahman, Anggota Komite BPH Migas, mengatakan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun terakhir serapan BBM jenis Premium yang memiliki nilai oktan (research octane number/RON) 88 selalu lebih rendah dari kuota yang disiapkan pemerintah.
Pada 2016, serapan Premium hanya 10,6 juta kiloliter (KL), sedangkan kuota yang disediakan mencapai 12, 9 juta KL. Setahun berikutnya juga terjadi hal yang sama, yakni dari kuota Premium sebanyak 12 juta KL yang disiapkan pemerintah pada 2017, hanya terserap 7 juta KL.
Begitu juga pada 2018 yang dialokasikan 11 juta KL Premium, tetapi hanya terserap 9 juta KL. Pada 2019, serapan Premium sempat meningkat, tetapi turun lagi pada tahun lalu dengan realisasi serapan Premium sebanyak 8,4 juta KL dari alokasi 11 juta KL di 2020.
“Kenapa realisasi kuota BBM dengan RON 88 selalu lebih rendah dari kuotanya? Ada 3 hal yang kami pantau dari BPH Migas,” katanya dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Senin (5/9/2021).
Pertama, kata Saleh, meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap BBM yang lebih berkualitas karena derasnya arus informasi terkait dengan isu global dan lingkungan.
Hal kedua, yakni Program Langit Biru yang diluncurkan oleh PT Pertamina (Persero) berupa pemberian diskon harga BBM jenis Pertalite untuk sejumlah golongan konsumen yang ikut menggeser pola konsumsi masyarakat.
Ketiga, spesifikasi kendaraan baru yang beredar saat ini menuntut masyarakat untuk menggunakan BBM dengan kualitas dan RON yang lebih baik.
Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Komaidi Notonegoro mengatakan bahwa penurunan konsumsi Premium saat ini terjadi saat tren harga minyak dunia melemah.
Artinya, saat harga minyak dunia melemah, maka disparitas antara harga Premium dan jenis BBM lain menjadi tidak terlalu jauh. Dengan begitu, masyarakat mau memilih BBM dengan kualitas dan RON yang lebih baik.
“Kalau program itu [Langit Biru] tidak ada dan harga minyak dunia naik signifikan, terus kemudian disparitas tinggi, itu yang perlu diantisipasi pemerintah dan BPH Migas,” jelasnya.