Bisnis.com, JAKARTA — Industri ban belum akan pulih tahun ini. Pasalnya serapan baik di pasar global maupun domestik masih terkendala.
Meski demikian, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia (APBI) Azis Pane memperkirakan akan ada kenaikan volume produksi dari 65–70 persen pada tahun lalu menjadi 70–80 persen pada tahun ini. Demikian juga dengan operasi pabrik masih di posisi 60 persen.
"Di semester satu kemarin, [operasi produksi] masih 60 persen dari sebelumnya 40 persen," katanya kepada Bisnis, Jumat (10/9/2021).
Dia melanjutkan, industri ban tengah terhimpit lemahnya permintaan domestik dan kinerja ekspor. Permintaan di dalam negeri masih terbebani kondisi pembatasan kegiatan masyarakat, sedangkan ekspor terkendala kelangkaan kontainer dan melonjaknya biaya pengapalan.
Azis menargetkan operasi dan volume produksi akan kembali normal pada Maret 2022. Namun, proyeksi itu kemungkinan akan berubah mengingat situasi pandemi yang belum mereda dengan munculnya berbagai varian.
"Tadinya saya sangat optimistis Maret tahun depan sudah stabil, tapi sekarang saya rasa belum bisa," ujarnya.
Lemahnya permintaan, lanjut Azis, membuat para pengusaha tidak membuat stok dan hanya memproduksi sejumlah permintaan saja.
Kondisi itu diperparah dengan harga gas industri yang belum mengalami penyesuaian untuk pengusaha ban. Azis mengakui persentase gas terhadap biaya produksi ban terhitung kecil, tetapi keberadaannya tetap menjadi komponen penting dalam proses produksi.
Dia mengatakan sebagian anggota asosiasi telah beralih ke batu bara dan ada pula yang menggunakan cangkang kelapa sawit sebagai bahan bakar.
"Makanya sekarang industri ban tidak akan membuat ban kalau tidak diminta pasar. Sekarang kita produksi seperlunya," ujarnya.
Sebelumnya, untuk melindungi pasar ban domestik dan meningkatkan daya saing, Azis juga menyarankan penghapusan pajak pertambahan nilai (PPn) sebesar 10 persen dalam pembelian karet alam sebagai bahan baku industri. Selain itu, industri juga membutuhkan revisi standar nasional Indonesia (SNI) ban.