Mekanisme hukum peninjauan kembali (PK) pajak terus menuai debat panjang sekalipun Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Perma No. 7 tahun 2018 yang mengatur tata cara permohonan PK atas putusan Pengadilan Pajak.
Esensi aturan itu yakni PK hanya dibolehkan satu kali, seakan mengusik rasa keadilan para pencari keadilan. Norma Pasal 77 ayat (3) UU Pengadilan Pajak No 14/2002 menjadi awal persoalan hukum pengajuan PK pajak ke MA.
Kerancuan memaknai norma boleh jadi dipengaruhi adanya Surat Edaran MA (SEMA) No. 7/2014 mengenai pengajuan PK dalam perkara pidana. SEMA ini terbit akibat adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 34/PUU-XI/2013 yang menyatakan ketidakberlakuan norma Pasal 268 ayat (3) KUHAP berkaitan dengan persoalan pidana, yang berakibat pengajuan PK dapat lebih dari satu kali.
Logika hukum terbitnya SEMA dapat dibenarkan karena adanya norma Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman No. 48/2009 yang menyatakan ‘terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali’.
Persoalannya, apakah logika hukum PK pada kasus pajak (PK pajak) sama dengan PK pada kasus pidana? Pasal 77 ayat (3) UU 14/2002 menegaskan ‘pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung’. Dua hal dapat dikaji dari norma ini. Pertama, makna ‘peninjauan kembali’. Kedua, makna ‘pihak-pihak yang bersengketa’.
Dalam kasus pidana, PK diajukan karena adanya putusan kasasi yang telah diputus MA. Logika hukum pengajuan PK esensinya ditujukan guna menguji sekali lagi (pengujian ulang) atas putusan kasasi yang sudah diputus MA sendiri.
Pengajuan PK pajak tentu berbeda dengan PK pidana, perdata, maupun administrasi lainnya. Logika hukum PK pajak hakikinya menguji ulang penerapan hukum atas putusan Pengadilan Pajak, bukan menguji ulang putusan yang diputus MA.
Makna hukum PK pajak memberi ruang kesempatan kepada pihak-pihak yang bersengketa meminta pengajuan ulang atas putusan MA, bukan pengujian putusan Pengadilan Pajak. PK dalam Pasal 77 ayat (3) UU Pengadilan Pajak No.14/2002 makna hukumnya berbeda dengan PK yang dimaksud UU Kekuasaan Kehakiman No. 48/2009.
PK pajak yang diajukan ke MA bukan merupakan PK yang kedua tetapi PK yang ditujukan untuk pengujian atas putusan Pengadilan Pajak untuk diputus oleh MA sebagai lembaga pemutus akhir (tertinggi) sesuai sistem peradilan yang ada. Makna hukum PK pajak dimaksud sama dengan lembaga kasasi pada kasus pidana atau perdata.
Makna hukum PK pajak dan kasasi pidana atau perdata sama-sama ditangani MA sebagai lembaga pemutus akhir dari sengketa. Ketika mekanisme hukum PK sudah diputus MA, hukum membuka ruang kesempatan hanya sekali melakukan pengujian ulang terhadap putusan yang sudah diputus MA.
Di sinilah makna hakiki mencari keadilan yang berkepastian melakukan pengujian atas putusan yang sudah diputus MA. Itu sebabnya, pengajuan PK pajak atas dasar Pasal 77 ayat 3 UU 14/2002 hendak meminta pengujian ulang atas putusan Pengadilan Pajak, bukan pengujian atas putusan MA.
Alhasil, wajar jika atas putusan PK pajak yang sudah diputus MA diajukan pengujian ulang melalui PK juga tetapi tidak bisa dimaknai sebagai PK kedua. Pengujian ulang melalui lembaga PK atas putusan MA tidak berarti terjadi ada PK yang kedua kali.
Makna PK pertama berbeda dengan PK kedua. PK pertama menguji putusan Pengadilan Pajak, sedangkan ‘PK kedua’ menguji putusan PK yang sudah diputus MA. Di sinilah makna hukum PK pajak yang kerap rancu yang mestinya dipahami dengan benar.
Dengan memahami makna PK pajak yang diatur dalam UU 14/2022 akan mudah kita pahami frasa ‘pihak-pihak yang bersengketa’ yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) UU 14/2002 yang normanya tegas menyatakan ’pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan PK atas putusan Pengadilan Pajak kepada MA’.
Membaca frasa ‘pihak-pihak yang bersengketa’ secara umum bermakna pihak wajib pajak (WP) dan pihak otoritas pajak atau Ditjen Pajak (DJP) karena dua pihak inilah yang dapat mengajukan PK.
Artinya, keduanya dapat mengajukan PK atas putusan Pengadilan Pajak. Namun, dapat juga dipahami ketika kedua pihak (WP dan DJP) bermakna satu sepanjang kedua pihak sudah mengajukan PK.
Alhasil, pihak-pihak yang dimaknai dua pihak menjadi bermakna satu pihak sepanjang para pihak atau pihak-pihak dimaksud (WP dan DJP) sudah mengajukan upaya hukum PK ke MA. Lagi-lagi muncul kerancuan memaknai frasa ‘pihak-pihak yang bersengketa’.
Jika kita kembali pada persoalan makna hukum PK, makna ‘pihak-pihak yang bersengketa’ mesti dipahami pada makna hukum pengujian ulang putusan hukum yang sudah diputus MA. Jika awalnya WP atau DJP mengajukan PK, itu berarti meminta pengujian putusan Pengadilan Pajak, bukan putusan MA.
Setelah ada putusan MA, ‘para pihak yang bersengketa’ yang dikalahkan oleh putusan MA adalah para pihak yang meminta pengujian atas putusan MA. Jadi, pengajuan PK lebih dari satu kali tidak tepat karena tujuan pengujian PK-nya berbeda.
Kalau begitu, Perma 7/2018 yang ditindaklanjuti dengan rumusan hasil rapat pleno kamar MA sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan yang tertuang dalam SEMA No. 2/2019, patut dikaji ulang.