Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Center of Reform on Economics atau CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai inflasi sepanjang 2022 bisa sesuai dengan target pemerintah, yakni kisaran sasaran 3,0±1 persen.
Yusug mengatakan target inflasi tersebut sangat berat tercapai jika melihat kondisi saat ini. Pasalnya, realisasi inflasi mulai Januari hingga Juli 2022 (year-to-date/ytd) telah mencapai 3,85 persen. Itu artinya hanya berselisih 0,9, persen sebelum akhirnya mencapai batas atas dari target inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar 4 persen.
"Kalau kita lihat sekarang masih bulan Agustus sehingga kedepannya berpotensi angka ini masih akan mengalami kenaikan tergantung dari beberapa kondisi ya terutama kondisi harga di dalam negeri maupun tekanan dari inflasi global," kata Yusuf kepada Bisnis, Senin (1/8/2022).
Menurutnya, pemerintah masih perlu menjalankan beberapa strategi untuk menjaga laju inflasi agar sesuai target. Salah satunya memastikan alur distribusi barang strategis lancar dan tidak terhambat hingga akhir tahun nanti.
Dia menilai pemerintah juga perlu menyiapkan langkah strategis jika seandainya inflasi melebihi target yang ditetapkan.
"Misalnya dengan pendekatan dari sisi moneter dan juga dari sisi fiskal untuk memastikan kenaikan inflasi tidak menggerus daya beli masyarakat," imbuhnya.
Baca Juga
Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya mencatat, inflasi IHK mencapai 4,94 persen (year-on-year/yoy) pada Juli 2022, lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 4,35 persen (yoy).
Yusuf menyampaikan kenaikan inflasi tersebut sudah diperkirakan sebelumnya mengingat kondisi saat ini, baik dari luar maupun domestik yang mendorong harga-harga beberapa komoditas barang dan jasa di dalam negeri meningkat lebih tinggi dibandingkan produk-produk sebelumnya.
Jika melihat dari luar negeri, dia melihat penyebabnya masih relatif sama yaitu kenaikan harga terutama harga minyak yang relatif masih berada pada level yang lebih tinggi sehingga juga berdampak terhadap beberapa komoditas lain.
Sementara dari sisi domestik, lanjutnya, disebabkan adanya faktor iklim yang akhirnya mengganggu distribusi komoditas pangan strategis seperti bawang dan juga cabai sehingga mendorong naiknya harga pangan.
"Di saat yang bersamaan kita juga melihat dampak dari kenaikan harga BBM non subsidi dan juga LPG non subsidi. Itu juga menjadi faktor lain yang mendorong kenaikan harga di dalam negeri," ujarnya.