Bisnis.com, JAKARTA - Komunitas Pengguna KRL Jabodetabek (KRL Mania) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menegur Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, terkait wacana perbedaan tarif KRL bagi masyarakat kaya dan miskin.
KRL Mania berpendapat bahwa pengguna KRL dan angkutan umum massal lainnya sebenarnya adalah pahlawan transportasi, anggaran dan iklim.
"KRL Mania menyerukan kepada Presiden Jokowi untuk menegur Menteri Perhubungan, karena usulan kontroversial membagi penumpang KRL kaya dan miskin," tulis keterangan tersebut dikutip Jumat (30/12/2022).
Komunitas KRL Mania menilai pengguna angkutan umum tersebut selama ini adalah pahlawan, karena rela menggunakan transportasi massal untuk memperlancar jalan di Jabodetabek. Sebagian pengguna, bahkan memilih meninggalkan kenyamanan kendaraan pribadi, dan berdesakan di KRL.
Bukan itu saja, penggunaan transportasi massal seperti KRL juga membantu mengurangi melonjaknya BBM Subsidi dan kompensasi yang tahun ini saja, dianggarkan lebih Rp260 triliun. Masyarakat yang memilih menggunakan KRL juga ikut mendukung program pemerintah untuk menekan emisi karbon.
"Alasan lain adalah, praktik pembedaan tarif akan menyebabkan kerumitan. Selain kriteria yang tidak jelas, dapat terjadi kekacauan karena ada yang merasa berhak untuk duduk atau perlakuan lebih lain. Akan ada keributan antara kaya dan miskin, yang diakibatkan kebijakan tersebut," ujar KRL Mania.
Sebelumnya, wacana penerapan tarif KRL yang berbeda untuk penumpang kurang mampu dan 'orang kaya' ini juga dinilai akan memicu konflik dan kecemburuan sosial.
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang, mengatakan rencana tersebut aneh dan ironi. Sebab, negara-negara lain seperti Hong Kong, Jepang, hingga Eropa pun menerapkan tarif KRL yang sama.
"Jadi tidak ada perbedaan tarif untuk orang kaya, miskin, tidak mampu, hingga setengah mampu. Semuanya diberlakukan tarif yang sama," ujarnya kepada Bisnis, Kamis (29/12/2022).
Menurut Deddy, wacana ini bisa saja menimbulkan kecemburuan bahkan konflik sosial. Misalnya, orang yang mampu atau orang yang kaya merasa mereka perlu mendapat layanan istimewa karena tidak disubsidi dan membayar mahal.
Sementara itu, sambungnya, di dalam KRL mereka tetap berbaur dengan orang-orang biasa yang tarifnya disubsidi.
"Belum lagi nanti ada konflik sosial, misalnya karena mereka merasa [tarif] lebih mahal dan tidak disubsidi mereka harus duduk misalnya," ujar Deddy.
Lebih lanjut, dia tak bisa membayangkan jika nanti ada warga negara asing (WNA) atau masyarakat di luar Jabodetabek yang datang ke Ibu Kota dan naik KRL malah ditanya data kekayaan, laporan pajak, hingga nomor pokok wajib pajak (NPWP).
"Kan menjadi aneh sebenarnya. Jadi menurut saya justru itu tidak tepat," ungkapnya.