Bisnis.com, JAKARTA - Sebelum China memberlakukan pembatasan ekspor pada produk galium dan germanium, terdapat kekhawatiran Presiden Xi Jinping mungkin akan membatasi ekspor bahan lain, terutama logam tanah jarang (LTJ). Pasalnya, mineral ini juga menjadi harta karun milik China.
Berdasarkan laporan Reuters yang dikutip Jumat (11/8) pada tahun 2010, China membatasi ekspor logam tanah jarang ke Jepang setelah sengketa teritorial.
Hal tersebut kemudian membuat harga melonjak dan Jepang berupaya untuk menemukan sumber alternatif. China mengatakan pembatasan tersebut didasarkan pada masalah lingkungan.
Apa itu logam tanah jarang?
Logam tanah jarang adalah sekelompok 17 unsur yang digunakan dalam produk. Contohnya seperti laser, peralatan militer, magnet dalam kendaraan listrik, turbin angin, dan elektronik konsumen seperti smartphone.
Dapat diketahui 17 unsur tersebut termasuk dengan lanthanum, cerium, praseodymium, neodymium, promethium, samarium, europium, gadolinium, terbium, disprosium, holmium, erbium, thulium, ytterbium, lutetium, skandium, yttrium.
Berdasarkan data Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) China sendiri menyumbang 70 persen dari produksi tambang logam tanah jarang di dunia pada 2022, yang kemudian diikuti oleh Amerika Serikat (AS), Australia, Myanmar dan Thailand.
Baca Juga
Kemudian, menurut firma riset Adamas Intelligence pada 2019, China juga menjadi tempat mengolah, setidaknya 85 persen dari kapasitas dunia, untuk memproses bijih logam tanah jarang menjadi bahan yang dapat digunakan produsen.
Ekspor logam tanah jarang
Lalu dari sisi ekspor, data bea cukai China menunjukan bahwa ekspor logam tanah jarang telah menurun. China telah mengekspor 20.987 metrik ton dalam lima bulan pertama pada 2023, turun sebesar 4,4 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
AS sendiri telah mengambil sebagian besar impor logam tanah jarang dari China. Namun, ketergantungan ini telah berkurang sebesar 74 persen antara 2018 dan 2021, dari sebelumnya yang sebesar 80 persen pada 2014 hingga 2017.
Berdasarkan data USGS, China sendiri diperkirakan memiliki cadangan setara 44 juta metrik ton oksida tanah jarang (ROE) atau sebesar 34 persen dari total dunia.
Kemudian, Vietnam, Rusia dan Brasil, masing-masing diperkirakan memiliki lebih dari 20 juta metrik ton. India memiliki 6,9 juta, Australia memiliki 4,2 juta, dan AS memiliki 2,3 juta metrik ton.