Bisnis.com, JAKARTA — Laporan terbaru Asia Protein Buyers 100 yang diterbitkan Asia Research & Engagement (ARE) menunjukkan urgensi pengadaan sumber daya yang berkelanjutan di kalangan perusahaan pangan Asia. Laporan itu pun menemukan bahwa satu dari tiga perusahaan pangan Asia sudah menawarkan pangan nabati atau protein berbasis tanaman.
Direktur Transisi Protein sekaligus salah satu penulis laporan Asia Protein Buyers 100, Kate Blaszak mengatakan bahwa konsumen protein di Asia masih menghadapi dampak sosial dan lingkungan, serta ketergantungan besar di sepanjang rantai pasokannya.
"Dampak langsung dan tidak langsung ini menimbulkan risiko langsung bagi perusahaan, investor, pemberi pinjaman, dan pelanggannya," tulis Blaszak dalam siaran pers, dikutip pada Rabu (12/6/2024).
Dia melanjutkan, konsumen protein yang berpikiran maju menganggap risiko tersebut sebagai peluang pasar yang memiliki keunggulan kompetitif dan pembiayaan.
Sementara itu, dalam tren menuju masa depan pangan yang berkelanjutan, satu dari tiga perusahaan makanan Asia kini menyajikan kandungan protein nabati pada produknya.
Namun demikian, laporan tebaru ARE itu juga mengungkapkan jarak yang perlu ditempuh untuk mencapai target keberlanjutan sumber daya pangan masih panjang.
Baca Juga
ARE telah melakukan penilaian dengan mengevaluasi 100 perusahaan pembeli protein regional berdasarkan 40 indikator di 10 tema keberlanjutan.
Tema-tema yang diangkat di antaranya Perburuhan dan Transisi yang Adil, Penggunaan Antibiotik yang Bertanggung Jawab, Kesejahteraan Hewan, Perubahan Iklim, Deforestasi dan Keanekaragaman, dan Diversifikasi Protein.
Adapun, 100 perusahaan yang dievaluasi mencakup produsen, restoran, pengecer, dan hotel yang terdaftar di lebih dari 10 pasar, dengan kapitalisasi pasar gabungan lebih dari US$563 miliar.
Di antara perusahaan-perusahaan tersebut, perusahaan pangan asal Indonesia yang dinilai, yakni PT Fast Food Indonesia Tbk. (FAST), PT Map Boga Adiperkasa Tbk. (MAPB), PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk. (AMRT), PT Hero Supermarket Tbk. (HERO), PT Nippon Indosari Corporindo Tbk. (ROTI), dan PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk. (ULTJ).
Hasilnya, rata-rata skor dari 100 perusahaan hanya mendapat nilai 9%, tidak ada yang mendapat skor di atas 50%.
Manajer Riset Transisi Protein sekaligus salah satu penulis laporan itu, Dave Luo Jiaxuan mengatakan skor tersebut tampak mengecewakan, tetapi sebenarnya menunjukkan peningkatan kesadaran perusahaan akan keberlanjutan.
Peningkatan ini terjadi sejak ARE menerbitkan Baseline Benchmark pada 2022 dan adanya peluang bagi perusahaan untuk menetapkan kebijakan serta target pada 2025.
Di sisi lain, laporan ini mendesak para perusahaan pembeli protein Asia untuk memperkuat strategi keberlanjutan, yang meliputi kebijakan, komitmen, dan target 2025 yang terintegrasi dan fokus pada risiko tidak langsung.
Selain itu, ARE menyarankan perusahaan untuk memprioritaskan kolaborasi antara pembeli, pemasok, investor, dan pemodal guna mempercepat penerapan transisi protein berkelanjutan pada 2030. (Chatarina Ivanka)