Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia bisa berbangga hati karena pemulihan ekonomi yang cepat pasca pandemi Covid-19 membuatnya kembali masuk dalam jajaran negara berpendapatan menengah atas alias upper middle income country (UMIC). Namun, dampak pandemi masing merongrong negeri, terlihat dari terus meningkatnya jumlah penduduk rentan miskin.
Juli 2023 lalu, Bank Dunia (World Bank) merilis laporan bahwa gross national income per kapita Indonesia pada 2022 mencapai US$4.580, naik 9,8% dari 2021 sebesar US$4.170. Capaian itu berada di atas ambang batas klasifikasi UMIC 2022 yakni US$4.466, sehingga Indonesia kembali termasuk sebagai negara berpendapatan menengah atas.
Pemerintah menilai bahwa kembalinya Indonesia ke kelompok upper middle income country tidak lepas dari efektivitas penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi, bahkan mengaitkannya dengan hilirisasi sumber daya alam yang digadang-gadang berperan dalam kenaikan ekspor.
"Pemerintah berkomitmen untuk terus menjaga kualitas pemulihan perekonomian. Ini ditunjukkan dengan penurunan tingkat kemiskinan kembali menjadi satu digit pada tahun 2021 dan konsistensi penurunan tingkat pengangguran yang terus mendekati level prapandemi," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu yang merespons terbitnya laporan World Bank itu, Senin (3/7/2023).
Namun demikian, titel negara berpendapatan menengah atas tidak lantas membuat Indonesia meningkatkan batas garis kemiskinannya. Indonesia masih menggunakan garis kemiskinan US$1,9 purchasing power parity (PPP), yang berarti penduduk dengan penghasilan sehari tidak mencapai US$1,9 PPP termasuk dalam kategori miskin ekstrem.
World Bank telah memperbarui definisi penduduk miskin dengan menetapkan garis kemiskinan internasional di US$3,2 PPP. Kenaikan itu dinilai dapat mendorong fokus negara-negara dalam pengentasan kemiskinan dan mencapai pendapatan yang lebih tinggi, tidak terkecuali bagi Indonesia.
Baca Juga
Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan bahwa pihaknya belum mengubah tolok ukur kemiskinan agar dapat membandingkan historis data dengan indikator yang sama.
"[Indikator] kemiskinan ekstrem kita masih pakai yang 1,9, kan biar bisa membandingkan sama data sebelumnya, supaya apple to apple kita lihat historisnya sama," ujar Amalia usai konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Jakarta pada Jumat (30/8/2024).
Dia tidak berbicara banyak saat ditanya apakah akan terdapat penyesuaian metode pengukuran garis kemiskinan agar sesuai dengan tolok ukur terbaru dari Bank Dunia.
"Nanti kita bicarakan lagi, ini kan masih proses," ujarnya.
Pada 2024, garis kemiskinan ekstrem setara dengan Rp11.924 per kapita per hari atau setara Rp362.692 per kapita per bulan. Sementara itu, garis kemiskinan adalah Rp582.932 per kapita per bulan—terdapat selisih Rp220.240 dengan batas kemiskinan ekstrem.
Perubahan garis kemiskinan ekstrem akan memengaruhi batas perhitungan kelompok miskin dan rentan miskin, sehingga apabila standar baru itu diberlakukan, bukan tidak mungkin orang-orang yang tercatat menjadi penduduk miskin dan miskin ekstrem bisa bertambah.
Kelas Pengeluaran | Pengeluaran | Pengeluaran per 2024 |
Kelas Atas | >17 kali GK | >9.909.844 |
Kelas Menengah | 3,5—17 kali GK | 2.040.262—9.909.844 |
Menuju Kelas Menengah | 1,5—3,5 kali GK | 874.398—2.040.262 |
Rentan Miskin | 1,0—1,5 kali GK | 582.932—874.398 |
Miskin |
*GK adalah garis kemiskinan. Angka di atas adalah pengeluaran per kapita per bulan dalam rupiah
Terdapat pula kemungkinan jumlah kelompok menuju kelas menengah (aspiring middle class) bertambah, karena saat ini saja terdapat tren 'turun kasta' penduduk Indonesia dari kelas menengah (middle class) menjadi aspiring middle class.
Batas kelompok kelas menengah adalah mereka dengan pengeluaran Rp2.040.262 per kapita per bulan. Pada 2019, tercatat ada 57,33 juta kelas menengah atau 21,45% dari total penduduk Indonesia, tetapi kini jumlah kelas menengah menjadi 47,85 juta atau 17,13% dari total penduduk Indonesia.
Pada periode yang sama, terjadi peningkatan jumlah dan persentase kelompok penduduk rentan miskin (dari 54,97 juta menjadi 67,69 juta atau dari 20,56% menjadi 24,23%) dan menuju kelas menengah (dari 128,85 juta menjadi 137,50 juta atau dari 48,2% menjadi 29,22%).
Artinya, 9,4 juta penduduk kelas menengah hilang selama 2019—2024, indikasinya karena mereka turun ke kelompok menuju kelas menengah. Bertambahnya kelompok rentan miskin memang mengindikasikan banyaknya penduduk yang naik keluar dari batas kemiskinan, tetapi ada pula kemungkinan kelompok aspiring middle class yang turun menjadi rentan miskin karena tekanan ekonomi.
"Kami mengidentifikasi masih ada scaring effect dari pandemi Covid-19 terhadap ketahanan kelas menengah," ujar Amalia.
Rentan Turun Kelas
Amalia mengungkap bahwa ada tekanan tertentu kelompok kelas menengah Indonesia, yakni mereka sulit untuk naik menuju kelas atas dan malah rentan untuk turun menjadi aspiring middle class. Pasalnya, berdasarkan median pengeluaran, kelas menengah cenderung lebih dekat ke batas bawah pengelompokkan.
Nilai tengah atau median pengeluaran kelas menengah tercatat di angka Rp2.846.440 per kapita per bulan. Mereka harus meningkatkan pengeluaran per kapita hingga Rp7,06 juta untuk 'naik kelas', tetapi mereka hanya berjarak Rp806.178 dari batas bawah yang mengancamnya 'turun kelas'.
"Ini memang relatif rentan kalau ada guncangan dia bisa masuk ke dalam kelompok menuju kelas menengah," ujar Amalia.
Pengajar senior Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Chatib Basri menilai bahwa kerentanan kelas menengah dan turunnya jumlah mereka dalam beberapa tahun terakhir berkaitan dengan kondisi lapangan kerja, yakni semakin banyaknya sektor informal.
Chatib merujuk pada data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS, bahwa dalam periode 2019—2024 sebagian besar tenaga kerja diserap oleh sektor informal. Serapan tenaga kerja sektor formal terus berkurang dari periode 2014—2019 dan 2009—2014.
"Hal ini menjelaskan mengapa porsi kelas menengah turun dan aspiring middle class naik, karena lapangan kerja yang tercipta lebih banyak sektor informal yang umumnya memiliki tingkat pendapatan yang lebih rendah dibanding sektor formal," tulis Chatib dalam cuitannya, Jumat (30/8/2024).
Menarik untuk memperhatikan data Sakernas BPS ini. Dalam periode 2019-2024 tenaga kerja sebagian besar diserap oleh sektor informal. Bandingkan dengan periode sebelumnya dimana lapangan kerja yang tercipta adalah sektor formal. Hal ini menjelaskan mengapa porsi kelas menengah… pic.twitter.com/yRiq9uf085
— M. Chatib Basri (@ChatibBasri) August 30, 2024
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet turut melihat turunnya kelas menengah menjadi aspiring middle class akan berdampak pada kinerja pertumbuhan ekonomi secara umum.
Agregasi dan penurunan itu disebabkan faktor penyesuaian konsumsi, termasuk di dalamnya konsumsi untuk wisata maupun yang bersifat barang wajib seperti terlihat dalam penjualan ritel.
Sederhananya, menurut Yusuf, ketika kelompok kelas menengah mengalami penurunan dan melakukan penyesuaian konsumsi akan tercermin dari permintaan terhadap kredit konsumsi perbankan yang mengalami penurunan.
"Penurunan permintaan kredit sedikit banyak juga akan ikut mempengaruhi kinerja di sektor keuangan," ujar Yusuf, Jumat (30/8/2024).
Penyesuaian konsumsi kelas menengah juga akan ikut memengaruhi penjualan ritel secara umum. Misalnya, semula pertumbuhan penjualan ritel di atas 5%, tetapi dengan adanya penyesuaian konsumsi maka pertumbuhan penjualan melaju ke bawah 5%.
"Jadi pada dasarnya kelas menengah ini punya posisi yang strategis terutama jika Indonesia ingin beranjak atau naik kelas ke kategori negara yang lebih maju," ujarnya.