Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Biodisel B50 Dikebut, Harga CPO Pemerintahan Prabowo Diprediksi Melesat

B50 diperkirakan dapat mengurangi supply CPO yang diperdagangkan, yang berdampak pada kenaikkan harga sawit dan turunannya
Pekerja menata kelapa sawit saat panen di kawasan Kemang, Kabupaten Bogor. Bisnis/Arief Hermawan P
Pekerja menata kelapa sawit saat panen di kawasan Kemang, Kabupaten Bogor. Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat memperkirakan harga minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dan turunannya akan melambung tinggi di pasar, seiring dengan keinginan Presiden Prabowo Subianto mempercepat biodiesel dari B35 menjadi B50.

Pengamat dari Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Eliza Mardian mengatakan bahwa dengan adanya kebijakan B50, permintaan terhadap CPO bakal melonjak.

Imbasnya, penggunaan CPO untuk biodiesel akan meningkat dan pasokan CPO yang tersedia di pasar akan berkurang, sehingga harganya akan merangkak.

“Berhubung Malaysia dan Indonesia eksportir utama CPO, maka ketika ada B50 ini bisa mengurangi supply CPO yang diperdagangkan sehingga mengerek harga,” ujar Eliza kepada Bisnis, Senin (21/10/2024).

Sebagai konteks, dalam penutupan Kongres 6 Partai Amanat Nasional (PAN) di Jakarta pada Sabtu (24/8/2024), Prabowo pernah bertekad akan mencapai biodiesel B50. Menurutnya, program B50 ini akan menghemat anggaran hingga US$20 miliar atau sekitar Rp300 triliun per tahun.

Meski Indonesia akan memacu biodiesel B50, ekspor CPO dan turunannya dinilai masih akan tetap berjalan.

Namun, kata dia, jika tidak ada upaya untuk meningkatkan produksi CPO dan turunannya, maka akan terjadi perluasan lahan (ekstensifikasi) yang dapat mengorbankan hutan alias deforestasi dan kerusakan lingkungan.

Menurutnya, ekstensifikasi areal pertanaman sawit ini bertolak belakang dengan semangat Indonesia untuk menurunkan emisi.

“Karena hutan adalah carbon sink alami yang akan menyerap karbon. Semestinya lahan hutan yang tersisa dijaga mati-matian,” ujarnya.

Untuk itu, dia menilai perlu adanya pendekatan peningkatan produksi CPO yang harus diubah. Dia pun mewanti-wanti agar pemerintah tidak membuka lahan hutan menjadi lahan pertanian.

Apalagi, Eliza mengungkap bahwa dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia menargetkan emisi sebesar 31,89% atau setara dengan 912 juta ton CO2 pada 2030. Namun, realisasi penurunan emisi per 2022 baru menyentuh 91,5 juta ton CO2 atau setara dengan 10%, masih jauh dari target.

“Maka win-win solution-nya adalah melakukan peremajaan pohon kelapa sawit alias intensifikasi, jangan membuka lahan hutan [ekstensifikasi],” terangnya.

Menurutnya, alasan di balik rendahnya produktivitas sawit Indonesia dibandingkan malaysia lantaran beberapa faktor, seperti penggunaan bibit unggul tersertifikasi dan pemupukan yang cukup.

Dia menyarankan agar pemerintah seharusnya melakukan peremajaan sawit dengan cara mengganti tanaman sawit yang sudah tua atau yang sudah tidak menghasilkan.

Lebih lanjut, Eliza menuturkan bahwa imbas dari kurang peremajaan sawit membuat lahan hutan akan habis dikonversi akibat ekspansi.

Di samping faktor bibit dan pupuk, lanjut dia, rendahnya produktivtas sawit Indonesia juga disebabkan karena pemerintah lebih memilih ekspansi lahan sawit ketimbang peremajaan tanaman.

“Rendahnya realisasi peremajaan kelapa sawit tersebut disebabkan karena keterbatasan anggaran peremajaan sawit,” ungkapnya.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kinerja ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dan turunannya yang masuk ke dalam komoditas unggulan Indonesia turun pada September 2024.

Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan bahwa ekspor CPO dan turunannya mengalami penurunan baik secara bulanan maupun tahunan pada September 2024.

Pada September 2024, total volume ekspor CPO dan turunannya hanya sebanyak 1,49 juta ton, merosot dibandingkan bulan sebelumnya sebanyak 1,97 juta ton.

Sementara dari sisi harga CPO dan turunannya di tingkat global pada September 2024 mengalami peningkatan menjadi. US$932,05 per ton dari bulan sebelumnya sebesar US$898,90 per ton.

Amalia menyampaikan bahwa nilai ekspor CPO dan turunannya kompak mengalami penurunan baik bulanan maupun tahunan. Perinciannya, turun sebesar 21,64% secara bulanan (month-to-month/mtm) dan sebesar 24,75% secara tahunan (year-on-year/yoy).

Secara kumulatif, nilai ekspor CPO dan turunannya adalah US$1,38 miliar pada September 2024.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rika Anggraeni
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper