Hal ini lantaran konsumsi susu nasional pada 2022 dan 2023 sebesar 4,44 juta ton dan 3,7 juta ton. Sementara itu, produksi susu sapi nasional hanya sebesar 837.223 ton atau hanya mampu memenuhi 20% dari kebutuhan susu nasional, dan 80% sisanya impor.
Dia menjelaskan, dengan mendorong IPS yang berbadan usaha koperasi maka akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor susu.
“Nanti secara bertahap akan kita kurangi [impor susu] dan kita akan dorong industri pengolahan susu yang berbadan hukum, berbadan usaha koperasi,” jelasnya.
Tercatat, populasi sapi perah sendiri mayoritas berada di Pulau Jawa, yakni 99%. Sementara itu, hanya ada 1 peternakan sapi perah dengan populasi 4.000 ekor di Sumatra Utara milik anak perusahaan salah satu IPS besar di Indonesia. Dan di Sulawesi Selatan terdapat 1.000 ekor sapi perah.
“Saat ini, kondisi supply susu nasional yang dikelola oleh koperasi merupakan mayoritas hasil produksi susu segar koperasi produsen susu yang kemudian disetorkan ke IPS,” ujarnya.
Hal ini menjadikan koperasi susu sangat bergantung pada kontrak pembelian susu dari IPS. Bahkan, sejak kuartal II/2023, sejumlah IPS di Jawa Timur dilaporkan mengurangi penyerapan susu dari koperasi produsen susu akibat penurunan permintaan konsumen.
Baca Juga
Salah satu kasus yang terjadi adalah di Kabupaten Boyolali. Di mana, tidak hanya koperasi yang terdampak melainkan juga Usaha Dagang (UD) dan Perseorangan (pengepul susu).
Secara total, ada 50.000 liter atau sekitar 400 juta dengan asumsi harga Rp8.000/liter susu karena tak terserap IPS. Hal ini lantaran kondisi para IPS sedang membatasi jumlah kuota susu dari produk lokal.
“Menurut hemat kami, sebenarnya itu inilah hikmah dari kejadian di Boyolali bahwa kita semua dari Kementerian Koperasi mendorong percepatan pendirian pabrik-pabrik pengolahan susu dari gabungan koperasi susu Indonesia,” tandasnya.