Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Wanti-Wanti Ekonom Core jika Tarif PPN dan PPh Naik per 2025

Pemerintah mengindikasikan akan menerapkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% mulai 2025.
Karyawati beraktivitas di salah satu kantor pajak di Jakarta, Senin (14/10/2024). Bisnis/Arief Hermawan P
Karyawati beraktivitas di salah satu kantor pajak di Jakarta, Senin (14/10/2024). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah akan menerapkan tarif PPN menjadi 12% mulai 2025. Bukan hanya itu, pengeluaran masyarakat juga harus bertambah dengan adanya kenaikan iuran BPJS Kesehatan hingga PPh Final UMKM yang akan kembali normal pada tahun depan. 

Bisnis menghimpun setidaknya 10 pungutan yang berpotensi naik atau bertambah pada 2025. Artinya, kurang dari dua bulan lagi, masyarakat perlu bersiap untuk membayar berbagai kewajiban tersebut apabila jadi berlaku.

Ekonom Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet melihat banyaknya kenaikan pungutan pada 2025 terasa kurang tepat dari sisi timing alias waktu implementasi. 

“Saya melihat daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih, sementara inflasi dan biaya hidup terus meningkat,” ujarnya, dikutip pada Selasa (19/11/2024). 

Setidaknya, 10 ‘beban’ tambahan tersebut mulai dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), BPJS Kesehatan, uang kuliah tunggal (UKT) mahasiswa, dan tarif cukai berpeluang untuk naik pada tahun depan. 

Pemerintah juga mewacanakan pengenaan third party liability (TPL) untuk asuransi wajib kendaraan bermotor, Pajak Penghasilan (PPh) Final usaha mikro kecil menengah (UMKM), subsidi kereta rel listrik (KRL) berdasarkan nomor induk kependudukan (NIK), pembatasan subsidi bahan bakar minyak (BBM) 2025, pembatasan subsidi pupuk, dan dana pensiun wajib.

Menurut Yusuf, banyaknya beban tersebut berpotensi membuat populasi kelas menengah semakin sedikit. Di mana konsumsi masyarakat akan fokus pada kebutuhan primer, dan tidak mengeluarkan untuk sekunder bahkan terseier. 

“Saya khawatir kondisi ini dapat mendorong penurunan kelas sosial. Ketika penghasilan masyarakat pada umumnya relatif stagnan sementara berbagai pungutan naik, banyak keluarga kelas menengah yang mungkin terpaksa menurunkan standar hidupnya,” tuturnya. 

Yusuf menekankan bahwa pemerintah perlu mengantisipasinya dan mendorong masyarakat kelas tersebut terserap ke dalam kesempatan kerja formal yang membuka peluang lebih besar dalam meningkatkan kesehjahteraan.

Pasalnya, kelas menengah menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Sementara harapan pemerintah, ekonomi berada di angka 8% atau lebih besar 3% dari posisi saat di angka 5,03% year to date per kuartal III/2024. 

Terlebih, masyarakat kelas menengah menjadi kelas sosial yang cukup tertekan karena tidak cukup miskin untuk mendapatkan bantuan pemerintah dan tidak cukup kaya untuk mampu melakukan belanja lebih banyak. 

Sebagaimana data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2019 jumlah kelas menengah sebanyak 57,33 juta orang. Sementara pada 2024 jumlahnya turun 9,48 juta orang menjadi 47,86 juta jiwa. 

Pada periode yang sama, penurunan jumlah kelas menengah tersebut seiring dengan kenaikan masyarakat aspiring middle class atau menuju kelas menengah dari 128,85 juta orang menjadi 137,5 juta orang. 

Jumlah masyarakat rentan miskin pun juga naik dari 54,97 juta orang (2019) menjadi 67,69 juta orang pada 2024. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper