Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perhapi: Biaya & Waktu Jadi Kendala Transisi Energi di Industri Pertambangan

Biaya dan waktu menjadi salah satu kendala industri pertambangan dalam menjalankan transisi energi.
Suasana penggalian tambang nikel milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Suasana penggalian tambang nikel milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA - Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) mengungkap industri pertambangan terkendala dalam menerapkan transisi energi akibat terbatasnya pasokan energi bersih di sejumlah daerah, kebutuhan waktu hingga pendanaan. 

Ketua Umum Perhapi (2021-2024) Rizal Kasli mengatakan, pelaku usaha pertambangan mulai bergotong royong memulai transisi energi, kendati penerapannya belum dalam skala yang besar karena membutuhkan waktu. 

"Di pertambangan itu kita keterbatasan sumber daya energi. Katakanlah untuk peralatan dan alat berat, dari ekskavator, dump truck, sampai mesin pengolahan dan lainnya itu butuh energi yang besar, umumnya dipenuhi energi batu bara, migas, dan lainnya," kata Rizal saat ditemui agenda Temu Profesi Tahunan (TPT) XXXIII & Kongres XII Perhapi 2024, Rabu (20/11/2024). 

Menurut dia, industri membutuhkan waktu untuk mengubah energi fosil menjadi energi bersih. Terlebih, tidak semua daerah memiliki potensi energi bersih yang besar. 

Rizal mencontohkan, PT Pamapersada Nusantara yang disebut membutuhkan 1,4 miliar ton solar per tahun untuk menggerakkan alat berat, termasuk dump truck-nya. 

"Ini nggak mungkin bisa langsung tiba-tiba diganti, mengingat juga pengembangan energi baru dan terbarukan itu, butuh waktu yang lama untuk bisa memenuhi semua kebutuhan energi," tuturnya. 

Untuk menerapkan energi bersih dari pembangkti listrik tenaga air (PLTA) pun tidak banyak daerah pertambangan yang memiliki sumber air berupa bendungan. Terlebih, ketinggian hingga perbedaan elevasi pun menjadi kebutuhan untuk operasional turbin. 

Sementara itu, penerapan solar panel juga dinilai masih terbatas hanya dapat digunakan 4-5 jam. Belum lagi, di sejumlah daerah yang berawan dapat membuat efektivitasnya turun. Dalam hal ini, dibutuhkan energy storage yang besar dan biaya yang mahal. 

"Kalau kita gunakan itu untuk produksi, tentu kan kita berpikir bersaing. Biaya produksi makin tinggi, harga jual juga akan tinggi. Bisa nggak kita bersaing dengan negara lain misalnya, yang sudah lebih efisien," tuturnya. 

Dia juga menyebut berdasarkan data PLN, untuk mengganti satu tong batu bara harus digantikan 4 megawatt (MW) solar panel. Namun, Rizal justru melihat kebutuhaknnya lebih besar mengingat waktu sinar matahari yang terbatas. 

Lebih lanjut, dia mendorong pemerintah baru untuk mempercepat pembangunan energi baru terbarukan (EBT), serta mendorong pertumbuhan industrialiasi. 

"Kalau kita bicara untuk keluar dari middle income country, itu mutlak diperlukan pertumbuhan industri. Kalau itu tidak tumbuh, gara-gara energi tidak tersedia, kita akan terjebak di middle income country, kita juga butuh pertumbuhan ekonomi 8%," pungkasnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper