Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai bahwa industri padat karya, utamanya manufaktur dan ritel menjadi sektor yang paling membutuhkan perlakuan khusus terkait penerapan kenaikan upah minimum 6,5% tahun depan.
Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani menyampaikan, industri manufaktur seperti tekstil, garmen, alas kaki, furniture, serta beberapa subsektor agribisnis memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap tenaga kerja dengan kontribusi besar terhadap penyerapan tenaga kerja nasional.
“Sektor-sektor ini juga merupakan yang paling rentan terhadap kenaikan biaya operasional,” kata Shinta kepada Bisnis, Senin (9/12/2024).
Dalam beberapa tahun terakhir, Shinta menuturkan bahwa sektor padat karya menghadapi tantangan besar, termasuk persaingan ketat dari produk impor, pelambatan permintaan global, dan tekanan harga bahan baku.
Menurutnya, dengan margin usaha yang semakin tergerus, kenaikan upah minimum berpotensi menambah tekanan yang signifikan, sehingga berisiko mengurangi daya saing sektor ini di pasar domestik maupun internasional.
Oleh karena itu, Apindo menilai perlunya dukungan dan stimulus dari pemerintah untuk industri padat karya. Shinta mengharapkan, pemerintah dapat memberi perlakuan khusus yang dapat meringankan beban perusahaan seperti insentif fiskal.
Baca Juga
“Dari sudut pandang dunia usaha, kami berharap pemerintah memberikan perlakuan khusus dalam bentuk stimulus dan kebijakan yang dapat meringankan beban perusahaan,” tuturnya.
Dalam hal ini, Shinta menyebut bahwa pemerintah dapat memberikan keringanan berupa subsidi iuran BPJS Ketenagakerjaan, relaksasi Pajak Penghasilan (PPh) Badan, dan penghapusan penalti bunga keterlambatan pajak untuk perusahaan terdampak.
Selain itu, pemerintah diharapkan dapat mengurangi pajak daerah untuk meringankan beban operasional. Relaksasi tersebut dapat diberikan bagi pelaku usaha daerah yang menghadapi kesulitan finansial.
Pihaknya juga menggarisbawahi pentingnya komunikasi terbuka antara pemerintah dan pelaku usaha. Komunikasi ini dilakukan untuk memastikan kebijakan yang diterapkan mempertimbangkan kondisi riil di lapangan dan dampaknya dapat dimitigasi secara tepat dan terukur.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli mengatakan, pemerintah tengah menggodok kebijakan khusus bagi perusahaan yang mengalami kendala dalam menerapkan upah minimum 2025.
Hal ini dilakukan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) imbas beratnya beban perusahaan dari kenaikan upah minimum tahun depan.
Yassierli melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No.16/2024 tentang Penetapan Upah Minimum 2025 telah menetapkan kenaikan upah minimum provinsi atau UMP 2025 dan upah minimum kabupaten/kota atau UMK 2025 sebesar 6,5%.
Namun, pemerintah menyadari bahwa terdapat sejumlah perusahaan yang mungkin mengalami kesulitan dalam menerapkan kebijakan tersebut.
Untuk itu, Yassierli meminta kepala daerah untuk melakukan asistensi perusahaan yang mengalami kendala dalam penerapan upah minimum agar tidak terjadi PHK.
“Kami harap para PJ Gubernur mohon disampaikan kepada bupati, walikota, bahwa kita akan ada kebijakan khusus untuk itu, dan ini sedang digodok,” kata Yassierli dalam sosialisasi kebijakan upah minimum 2025, Senin (9/12/2024).
Dia menyampaikan, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) tengah berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengenai kebijakan khusus tersebut.
Pemerintah, kata dia, tengah berupaya untuk mencari kebijakan terbaik agar kenaikan upah minimum tak semakin memberatkan perusahaan tersebut.
“Kita sedang mencari kebijakan paling baik untuk mereka agar keputusan terkait tentang UMP ini tidak semakin memberatkan perusahaan tersebut,” ujarnya.
Rencana tersebut sebelumnya telah disampaikan Yassierli saat melakukan konferensi pers soal Permenaker No.16/2024 pekan lalu. Dia menyebut, perlakuan khusus akan diberikan pemerintah terhadap perusahaan yang mengalami kesulitan finansial.
“Ini lebih spesifik treatment untuk pelaku usaha yang memang saat ini kesulitan finansial sehingga kalau penerapan UMP itu sekarang, maka mereka bisa jadi tidak mampu [untuk membayar],” ungkap Yassierli dalam konferensi pers di Kantor Kemnaker, Rabu (4/12/2024).