Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Indef Sebut Penguatan Pertumbuhan Ekonomi 2026 Perlu Strategi Ekstra

Indef menilai target pertumbuhan ekonomi 2026 sebesar 5,4% optimis, namun tantangan penerimaan negara dan biaya utang tinggi memerlukan strategi ekstra.
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato keterangan pemerintah atas RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2026 beserta Nota Keuangan dalam Sidang Paripurna Pembukaan Masa Persidangan I DPR Tahun Sidang 2025-2026 di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (15/8/2026). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato keterangan pemerintah atas RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2026 beserta Nota Keuangan dalam Sidang Paripurna Pembukaan Masa Persidangan I DPR Tahun Sidang 2025-2026 di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (15/8/2026). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyatakan pemerintah dihadapkan sejumlah tantangan dari sisi target penerimaan negara hingga biaya utang yang tinggi. 

Saat menyampaikan nota keuangan RAPBN 2026, Presiden Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan ekonomi optimistis di 5,4% dengan inflasi 2,5%, nilai tukar Rp16.500/US$, dan yield SBN 10 tahun sebesar 6,9% dalam RAPBN 2026. 

Direktur Pengembangan Big Data INDEF Eko Listiyanto menyatakan meskipun targetnya optimistis, tapi masih ada tantangan besar yang akan muncul, baik dari sisi penerimaan negara yang melemah serta biaya utang yang tinggi. 

"Target pertumbuhan ekonomi 2026 sebesar 5,4% sangat optimis, sementara realisasi 2023–2025 selalu di bawah target. Oleh karena itu, upaya akselerasi pertumbuhan ekonomi butuh strategi ekstra," ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (16/8/2025). 

Terkait target inflasi sebesar 2,5% pada tahun depan, Eko menilai masih relatif realistis, sejalan dengan capaian sebelumnya yang cenderung rendah. 

"Namun, potensi lonjakan harga pangan tetap menjadi risiko utama terhadap daya beli masyarakat. Asumsi nilai tukar Rp16.500 per dolar AS, lebih pesimistis dibanding target sebelumnya. Perlu strategi penguatan atau apresiasi Rupiah kembali ke bawah Rp16.000 agar stabilitas makro lebih terjaga," ujarnya. 

Selain itu, Eko juga menyoroti Yield SBN Indonesia yang masih mahal (target 6,9% pada 2026) dibanding negara lain. Dia menilai hal ini akan membebani fiskal dan bisa mengganggu keberlanjutan apabila tidak ditekan ke kisaran 6%. 

"Gap total penerimaan negara pada RAPBN 2026 terhadap outlook 2025 mencapai Rp282,2 triliun, sehingga strategi peningkatan penerimaan harus dilakukan tanpa menekan basis pajak yang sudah patuh," tegasnya. 

Terakhir, Eko juga menegaskan bahwa upaya mencapai pertumbuhan ekonomi 5,4% hanya mungkin bila pemerintah memprioritaskan penciptaan lapangan kerja, peningkatan daya beli, optimalisasi ekspor, masuknya investasi yang memutar uangnya di dalam negeri, dan efisiensi birokrasi.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro