Bisnis.com, JAKARTA - Hari-hari ini diskusi demi diskusi intens digelar untuk mentransformasi Bulog sebagai perusahaan umum (perum) jadi badan otonom yang langsung di bawah presiden.
Bukan kembali jadi lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) seperti di era Orde Baru, tetapi diubah ke lembaga pemerintah lainnya atau badan hukum publik seperti BPJS, Badan Pengelola Dana Keuangan Haji atau LPS.
Transformasi diandaikan berjalan cepat, sehingga keberadaan “Bulog baru” dapat mendukung pencapaian swasembada pangan dan program makan bergizi gratis, dua program andalan Presiden Prabowo Subianto.
Ketika berubah menjadi lembaga pemerintah lain atau badan hukum publik, Bulog tidak lagi bersifat korporasi yang harus untung seperti saat ini. Bulog akan sepenuhnya melakukan tugas pelayanan publik (public service obligation/PSO) sebagai kepanjangan tangan negara.
Bulog baru bertindak sebagai regulator dan operator sekaligus, alih-alih hanya operator seperti saat ini. Transformasi diperkirakan memakan waktu. Kala menjadi lembaga pemerintah lain, harus ada pembubaran Bulog, audit dan pengalihan aset dan sumber daya manusia (SDM), termasuk regulasi perpres yang tidak overlap dengan institusi lain. Kala menjadi badan hukum publik, keberadaan Bulog harus diatur dalam regulasi selevel undang-undang.
Apapun “bajunya”, termasuk opsi tidak mengubah lembaga BUMN berbentuk perum saat ini, faktor kunci yang dibutuhkan adalah penguatan. Jangan sampai langkah transformasi mengubah kelembagaan atau “mengubah baju” justru melupakan “isi baju” yang mestinya menjadi perhatian utama.
Baca Juga
Pada titik inilah penting untuk menelaah secara jernih apa yang membuat Bulog saat ini “lemah”, jika pilihan kata itu bisa disepakati. Mengapa kinerja Bulog jauh dari harapan? Dari telaah mendalam bisa diidentifikasi di mana titik-titik lemah, kemudian diracik opsi-opsi untuk memperkuat Bulog ke depan.
Untuk membuat Bulog kuat dan berperan besar dalam mengamankan stok dan menstabilkan harga, menjadi offtaker andal, termasuk jadi agen pengubah permainan (game changer) stagnasi produktivitas pertanian saat ini guna meraih target swasembada pangan, setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan.
Pertama, memberikan fleksibilitas Bulog menentukan langkah tanpa aturan berbelit. Selama ini Bulog bekerja amat kaku dan rigid karena terikat regulasi bejibun dari hulu hingga hilir. Misalnya, dalam membeli gabah/beras, Bulog diikat dengan harga pembelian pemerintah (HPP). HPP yang selalu di bawah harga pangan membuat Bulog sulit mendapatkan gabah/beras.
Sebaliknya, swasta dengan mudah melakukan pembelian sesuai kalkulasi untung-rugi korporasi. Dengan cara ini, swasta bisa membeli sepanjang waktu. Membeli dalam jumlah besar ketika panen raya saat harga gabah/beras rendah dan membeli dalam jumlah kecil saat paceklik ketika harga gabah/beras tinggi. Ada subsidi silang untung atau rugi.
Fleksibilitas seperti ini tidak dimiliki Bulog. Memang ada harga fleksibilitas, tetapi saat audit oleh auditor, prosesnya berbelit dan rumit. Jadi, di hulu dan hilir tidak lentur. Plus penugasan ad hoc dan mendadak, membuat Bulog selalu seperti pemadam kebakaran dan sulit merencanakan.
Penting bagi Bulog mendapatkan fleksibilitas seperti swasta. Yang diperlukan adalah rambu dan target, seperti target Bank Indonesia (BI) dalam mengendalikan inflasi.
Kedua, penguatan keuangan. Sejak 2019, penganggaran Bulog memakai sistem pascabayar. Bulog harus bekerja dahulu menggunakan dana bank berbunga komersial dan baru bisa mengklaim usai penugasan. Dari pengadaan hingga klaim dibayar, argo bunga beranak pinak. Kian lama klaim dibayar kian besar beban bunga, kian mahal pula harga pokok penjualan beras Bulog. Ujungnya, beras Bulog kurang kompetitif di pasar.
Sebagai gantinya, cadangan beras pemerintah (CBP) 1,5 juta ton harus dibiayai APBN lewat penyertaan modal negara sebagai modal kerja. Ini cukup diberikan sekali. Jika ini dilakukan, beban bunga bank tak ada lagi dan membuat harga pokok beras Bulog turun drastis. Implikasinya, penetrasi beras Bulog di pasar jauh lebih efektif.
Ketiga, mengintergasikan (kembali) kebijakan perberasan hulu-tengah-hilir. Saat ini kebijakan perberasan tidak lagi terintegrasi seperti di masa lalu. Di hulu, Bulog wajib menyerap gabah/beras petani agar terhindar dari kerugian.
Di tengah, Bulog menyimpan, dan mendistribusikan ke seluruh wilayah. Di hilir, penyaluran pasti tak ada. Ini terjadi sejak Raskin diubah menjadi bantuan pangan nontunai. Sejarah mengajarkan, keberhasilan pengelolaan CBP tak lepas outlet pasti di hilir.
Beras mudah rusak. Agar tak rusak, beras harus mengalir cepat ke penyaluran. Bukan menumpuk jadi stok di gudang.
Setelah Raskin tidak ada, efektivitas stabilisasi harga menurun. Di sisi lain, dana stabilisasi naik berlipat. Integrasi kebijakan dilakukan dengan mengubah Perpres 63/2017 tentang Bantuan Sosial dengan mewajibkan sebagian bansos berbentuk natura (baca: beras) yang disediakan Bulog. Secara gradual volume bisnis pemerintah via Bulog perlu diperbesar dan cadangan harus ada di pasar aktif.
Volume bisnis beras pemerintah harus 15%—20% dari konsumsi dan cadangan ditempatkan di pasar sebagai bagian dari komoditas yang diperjualbelikan yang dikontrol penuh pemerintah (Ruspayandi dan Bantacut, 2024).
Perubahan ini membuat stok yang semula statis jadi stok dinamis: bergerak terus di pasar. BULOG tak lagi sebagai pemadam kebakaran, tapi aktif menjadi stabilisator. Bulog yang kuat akan berandil besar dalam pencapaian swasembada.