Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Edi Suhardi

Analis Berkelanjutan, Ketua Bidang Kampanye Positif Gapki

Lihat artikel saya lainnya

Opini : Menyikapi Peluang Ekspansi Perkebunan Sawit

Presiden Prabowo Subianto telah menggarisbawahi peran strategis kelapa sawit dalam pembangunan ekonomi Indonesia.
Kumpulan buah sawit yang telah lepas dari tandan sebelum dikirim ke pabrik kelapa sawit PT Sahabat Mewah dan Makmur, Belitung Timur, Rabu (28/8/2024). / Bisnis-Annasa Rizki Kamalina
Kumpulan buah sawit yang telah lepas dari tandan sebelum dikirim ke pabrik kelapa sawit PT Sahabat Mewah dan Makmur, Belitung Timur, Rabu (28/8/2024). / Bisnis-Annasa Rizki Kamalina

Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Prabowo Subianto telah memberikan angin segar bagi industri kelapa sawit Indonesia. Dalam pidatonya pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas), 30 Desember 2024, presiden menegaskan pentingnya komoditas ini bagi perekonomian nasional dan mendorong perluasan perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran.

Prabowo menyayangkan kampanye negatif terhadap kelapa sawit yang seringkali mengaitkannya dengan deforestasi. Ia menekankan bahwa kelapa sawit justru memiliki peran penting dalam penyerapan karbon dioksida. “Kita harus melindungi aset bangsa ini,” tegasnya.

Keputusan ini sejalan dengan data yang menunjukkan bahwa kelapa sawit memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian Indonesia, menciptakan jutaan lapangan kerja, dan mengurangi kemiskinan di pedesaan.

Presiden Prabowo Subianto telah menggarisbawahi peran strategis kelapa sawit dalam pembangunan ekonomi Indonesia, dan sekaligus membantah anggapan bahwa komoditas ini merupakan penyebab utama deforestasi. Pernyataan presiden ini menjawab kontroversi dan stigma buruk perkebunan kelapa sawit Indonesia yang dikampanyekan pihak anti-sawit.

Penegasan Presiden ini didasari oleh sejumlah fakta empiris yang menunjukkan bahwa kelapa sawit memiliki produktivitas tinggi dan dapat berkontribusi pada pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Selain itu, berbagai studi telah membuktikan bahwa kelapa sawit dapat dikelola secara berkelanjutan tanpa merusak lingkungan.

Ia bertanya-tanya mengapa deforestasi massal sering kali disalahkan pada produk ini, padahal minyak sawit dipanen dari pohon berdaun banyak yang menyerap karbon dioksida. “Oleh karena itu, kita harus melakukan perluasan perkebunan kelapa sawit dan dengan ini saya perintahkan kepada gubernur, bupati, dan seluruh aparat penegak hukum untuk menjaga perkebunan kelapa sawit yang sudah ada,” tegas Prabowo.

Presiden Prabowo sering menekankan peran strategis minyak sawit sebagai sumber pangan, bioenergy dan produk konsumen, serta mengkritik kampanye negatif yang terus dilancarkan oleh berbagai pihak di Indonesia, maupun internasional, terutama di Eropa, terhadap komoditas ini.

Berbagai penelitian dan para pakar menyimpulkan peran minyak sawit yang semakin strategis bukan hanya bagi perekonomian Indonesia, tetapi juga sebagai sumber lebih dari 40 persen konsumsi minyak nabati dunia.

Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, industri kelapa sawit telah memperluas pusat pertumbuhan di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, berkontribusi besar terhadap penanggulangan kemiskinan di pedesaan dan menciptakan puluhan juta lapangan kerja. Indonesia saat ini merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia, dengan produksi tahunan lebih dari 50 juta ton. Pada tahun 2023, produksi minyak sawit akan mencapai 55 juta ton atau menguasai 54 persen pangsa pasar minyak sawit global.

Penggunaan minyak sawit untuk memproduksi biofuel mencapai 46 persen dari total konsumsi tahun lalu, sedangkan industri makanan menyumbang 44 persen dan industri oleokimia menyumbang 10 persen. Konsumsi global minyak sawit untuk pangan, bahan bakar, dan produk bernilai tambah lainnya tumbuh secara eksponensial, namun sayangnya, pertumbuhan permintaan tersebut tidak dibarengi dengan pertumbuhan produksi.

Hal penting lainnya adalah aspek keadilan sosial sawit dimana sekitar 40 persen dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia, seluas sekitar 16,5 juta hektare, dimiliki oleh 6,7 juta petani kecil. Industri minyak kelapa sawit ini secara langsung dan tidak langsung mempekerjakan sekitar 16 juta orang.

Selain itu, pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah berubah secara dramatis berkat pendidikan publik yang berkelanjutan dan tata kelola yang lebih baik. Para ahli sepakat bahwa kelapa sawit tidak lagi dikaitkan dengan permasalahan deforestasi, sehingga dianggap sebagai minyak nabat yang paling ramah lingkungan.

Banyak penelitian, termasuk buku “Not The End Of The World” yang ditulis oleh Ilmuwan Skotlandia, Hannah Ritchie, menyimpulkan bahwa kelapa sawit adalah tanaman yang sangat produktif, dengan hasil 2,8 ton minyak per hektare, dibandingkan dengan 0,34 ton, misalnya, untuk buah zaitun, 0,26 ton untuk kelapa dan 0,7 ton untuk bunga matahari.

Sebuah laporan penelitian oleh Kelompok Kerja Tanaman Minyak dari Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) yang berbasis di Swiss membantah kesalahpahaman bahwa tanaman minyak nabati sama dengan minyak kelapa. Sebaliknya, “yang penting adalah kegiatan pertanian. Bagaimana tanaman ditanam, diproses dan dipasarkan. Yang membuat perbedaan adalah praktiknya, bukan tanamannya”.

Pernyataan kebijakan presiden ini menandai titik balik bagi industri kelapa sawit Indonesia setelah bertahun-tahun dilarang mengeluarkan izin baru pengembangan perkebunan kelapa sawit sejak tahun 2011, yang berdampak pada stagnasi pertumbuhan produksi minyak kelapa sawit dalam negeri.

Presiden Prabowo telah berkomitmen untuk meningkatkan kandungan minyak sawit dalam campuran biodiesel hingga 40 persen (B40) pada tahun 2025, yang akan meningkatkan permintaan minyak sawit. Untuk memenuhi pertumbuhan permintaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka perluasan perkebunan kelapa sawit menjadi suatu keharusan.

Perluasan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan dinilai sebagai salah satu alternatif terbaik yang dimiliki Indonesia untuk mencapai SDGs dengan manfaat sosial ekonomi bagi jutaan orang namun dampak jejak karbon rendah.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) telah mengkonfirmasi bahwa terdapat banyak lahan rendah karbon yang dapat dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit tanpa mempengaruhi hutan primer.

Studi yang dilakukan oleh Departemen Ilmu Geografi Universitas Maryland mengenai tren deforestasi di Indonesia pada tahun 1991 hingga 2020 juga menyimpulkan bahwa Indonesia memiliki lahan yang sangat luas (sekitar 8 juta hektare) yang telah mengalami deforestasi sebelum tahun 2020 dan belum dimanfaatkan.

“Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara dengan hutan tropis yang berhasil memperlambat laju deforestasi. “Dan dengan banyaknya lahan kosong yang ada saat ini, sangat mungkin bagi Indonesia untuk menghentikan deforestasi sambil terus meningkatkan produksi minyak sawit,” kutip Phys.org yang mengutip sebagian temuannya.

Penegasan presiden mengenai peningkatan produksi hulu sawit menunjukkan pengakuan bahwa sawit merupakan aset strategis nasional yang perlu dilindungi dan dikelola dengan baik agar dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat Indonesia.

Jajaran pemerintah harus memfokuskan kembali upaya peningkatan produksi berkelanjutan dengan mengembangkan perkebunan baru di Papua, Kalimantan, dan Sulawesi, namun kita harus memastikan keberlanjutan operasional dengan membuat zona khusus untuk perkebunan timbunan kelapa sawit baru.

Diharapkan kementerian terkait segera mengambil langkah untuk menindaklanjuti dan menyusun kebijakan dan peraturan khusus yang akan diterapkan sebagai pedoman bagi perkebunan kelapa sawit baru di wilayah tersebut. Pedoman yang mengikat ini penting untuk mendorong industri kelapa sawit, baik untuk memulihkan pertumbuhan produksi hulu minyak sawit yang berkelanjutan maupun untuk mendiversifikasi industri hilir.

Kebijakan baru ini juga harus dilengkapi dengan pedoman untuk memastikan ekspansi budidaya kelapa sawit dalam skala besar akan dilakukan sesuai dengan prinsip berkelanjutan, sebagaimana tertuang dalam konsep Environment, Society and Governance (ESG).

Tanpa pedoman kebijakan yang jelas, ekspansi perkebunan kelapa sawit kelapa sawit dapat diartikan sebagai ketidakpedualian terhadap isyu lingkungan dan perubahan iklim global yang akan memperburuk citra sawit kita.

Selain itu, peraturan baru ini harus didukung dengan peta jalan pembangunan jangka panjang, memerlukan tata kelola yang lebih baik, peningkatan penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan benih berkualitas unggul, serta kebijakan pengolahan di hulu dan hilir yang terintegrasi berdasarkan prinsip berkelanjutan.

Peningkatan standar tata kelola perusahaan dan penegakan standar keberlanjutan yang lebih ketat menjadi suatu kehatusan dan prasyarat bagi pembangunan perkebunan kelapa sawit baru. Dengan demikian, kebijakan tentang perluasan Perkebunan kelapa sawit dapat berjalan tanpa kontroversi.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suhardi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper