Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Spa Indonesia (Aspi) menyebut, tarif pajak yang dibayar usaha spa pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) masih bervariasi. Pasalnya, pelaku usaha masih menunggu tindak lanjut pemerintah dalam merespons putusan pada 3 Januari 2025 itu.
Ketua I Aspi M. Asyhadi menyampaikan, tarif pajak yang dibayar oleh pelaku usaha spa bervariasi sesuai dengan wilayah masing-masing, sebagaimana amanat Undang-undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
“Masih bervariasi. Kalau di Bali ada yang 13%, jadi masih HKPD karena masih mengikuti surat edaran Kemendagri, ada yang ngikutin PPN,” ungkap Didi dalam konferensi pers Putusan MK tentang SPA sebagai Pelayanan Kesehatan Nasional, Jumat (10/1/2025).
Didi menuturkan, besaran tarif yang dibayar pelaku usaha SPA tersebut berlaku hingga sejumlah aturan yang menyangkut tarif pajak usaha SPA direvisi. Untuk itu, Aspi mendesak pemerintah untuk segera menindaklanjuti putusan MK pada awal Januari 2025.
Adapun, Aspi telah menyiapkan surat untuk dikirimkan ke Presiden Prabowo Subianto. Dalam suratnya, asosiasi meminta pemerintah untuk memasukan usaha spa ke dalam kategori kesehatan tradisional.
“Kami berharap presiden cq menkeu bisa masukan spa ke kategori kesehatan tradisional,” ujarnya.
Baca Juga
Sejalan dengan hal itu, pelaku usaha meminta pemerintah untuk dapat memberlakukan tarif pajak sesuai Undang-undang No.7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Peraturan Pemerintah (PP) No.49/2022 Pasal 11 sebagai penegasan jasa pelayanan SPA termasuk jasa pelayanan kesehatan.
Selain mengirimkan surat ke kepala negara, Aspi juga telah menjadwalkan pertemuan dengan kementerian/lembaga terkait guna membahas usaha spa pascaputusan MK pada 3 Januari 2025.
Sebelumnya, UU HKPD mengatur pengkhususan tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa. Pajak jasa hiburan dipatok paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.
Kemudian, MK melalui Putusan No. 19/PUU-XXII/2024 memaknai mandi uap/spa dalam pasal a quo sebagai bagian dari jasa pelayanan kesehatan tradisional.
“Oleh karenanya, frasa ‘dan mandi uap/spa’ dalam norma Pasal 55 ayat (1) huruf l UU 1/2022 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai ‘bagian dari jasa pelayanan kesehatan tradisional’,” ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dikutip dari laman resmi MK, Minggu (5/1/2025).
Menurut MK, pengklasifikasian mandi uap/spa dalam Pasal 55 ayat (1) huruf l UU HKPD yang disamakan dengan diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar tidak memberikan jaminan kepastian hukum atas keberadaan mandi uap/spa sebagai jasa pelayanan kesehatan tradisional sehingga menimbulkan kekhawatiran dan rasa takut atas penggunaan layanan jasa kesehatan tradisional dimaksud.
Dimasukkannya mandi uap/spa dalam kelompok diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar menjadikan hal tersebut sebagai jenis tontonan, pertunjukkan, permainan, ketangkasan, rekreasi atau keramaian untuk dinikmati, yang tidak sesuai dengan jasa pelayanan kesehatan tradisional sehingga menyebabkan kerugian bagi para pemohon berupa pengenaan stigma yang negatif.