Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kurs Rupiah Keok meski SRBI Diincar Investor Asing, Apa yang Salah?

Arus keluar SRBI pada Desember 2024 dinilai membatasi efektivitas Bank Indonesia dalam menstabilkan nilai tukar rupiah.
Pegawai menunjukan mata uang rupiah dan dolar Amerika Serikat di Dolar Asia Money Changer, Jakarta, Senin (18/7/2022). / Bisnis-Himawan L Nugraha
Pegawai menunjukan mata uang rupiah dan dolar Amerika Serikat di Dolar Asia Money Changer, Jakarta, Senin (18/7/2022). / Bisnis-Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA — Di pasar keuangan Indonesia, SRBI atau Sekuritas Rupiah Bank Indonesia menjadi instrumen yang paling banyak dibeli investor asing selama 2024. Namun, fakta tersebut tidak berbanding lurus dengan stabilitas nilai tukar rupiah.

Pada akhir 2024, nilai tukar rupiah mencapai Rp16.163 per dolar Amerika Serikat (AS). Angka tersebut melemah dibandingkan realisasi pada akhir 2023, yakni kurs rupiah ditutup di Rp15.399 per dolar AS.

Padahal, alasan Bank Indonesia (BI) menerbitkan SRBI adalah untuk menjaga stabilitas moneter yang salah satunya kurs rupiah. Penerbitan SRBI diharapkan dapat menarik modal asing masuk ke Tanah Air sehingga meningkatkan cadangan devisa (cadev), yang pada akhirnya memperkuat kurs rupiah.

Hanya saja, ekspektasi tersebut tidak terjadi selama 2024. Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menilai setidaknya ada empat alasan yang sebabkan kurs rupiah tetap tertekan selama tahun lalu meski SRBI menjadi pilihan utama investor asing.

Pertama, meski menjadi favorit tetapi permintaan investor asing terhadap SRBI cenderung menurun pada akhir 2024. Josua mengungkapkan terjadi paradoks pada akhir 2024: di satu sisi, yield atau imbal hasil SRBI meningkat; namun di sisi lain minat investor asing terhadap instrumen itu malah menurun cukup signifikan.

Dia menjelaskan kepemilikan asing terhadap SRBI hanya mencapai 24,27% pada Desember 2024. Menurutnya, itu merupakan persenan kepemilikan asing terendah atas SRBI yang pernah tercatat.

"Salah satu penyebabnya adalah ekspektasi depresiasi rupiah yang terus meningkat. Pasar forward non-deliverable [NDF] menunjukkan spread depresiasi rupiah sebesar 2,3% dalam 12 bulan ke depan," ungkap Josua kepada Bisnis, Senin (13/1/2025).

Kedua, BI mengadopsi strategi menjaga nilai rupiah dengan tetap mempertahankan tingkat suku bunga tinggi (real interest rate sekitar 4,45%), yang memberikan tekanan likuiditas pada sektor swasta.

SRBI dirancang untuk menarik arus modal masuk jangka pendek. Hanya saja, arus keluar dari SRBI pada Desember 2024 membatasi efektivitas BI dalam menstabilkan rupiah.

Ketiga, penguatan dolar AS dan ekspektasi kebijakan hawkish oleh bank sentral AS The Fed—termasuk kelanjutan pengetatan kuantitatif (QT)—menciptakan tekanan eksternal yang signifikan terhadap rupiah.

"Ketidakpastian geopolitik, seperti kebijakan tarif oleh administrasi AS, juga memperburuk sentimen pasar terhadap aset-aset emerging market, termasuk Indonesia," jelasnya.

Keempat, SRBI cenderung menyebabkan negative carry bagi BI atau kondisi biaya pendanaan suatu aset lebih tinggi daripada pendapatan yang didapatkan dari aset tersebut. Alasannya, yield atau imbal hasil SRBI lebih tinggi daripada obligasi pemerintah yang menjadi underlying.

Sebagai contoh, pada awal tahun dalam lelang perdana SRBI 2025 yield rata-rata diminta (weighted average bidding rate) ada di kisaran 7,29%. Sementara itu, yield SBN atau surat berharga negara tenor 10 tahun (contoh underlying SRBI) sebesar 7,18% per 10 Januari 2025.

"Dengan banyaknya SRBI yang akan jatuh tempo pada 2025, strategi BI yang mengandalkan SRBI dan pembelian obligasi pemerintah dapat meningkatkan biaya operasionalnya," ujar Josua.

Kendati demikian, dia meyakini SRBI tetap menjadi instrumen penting dalam menjadi stabilitas kurs rupiah. Josua pun menyarankan BI melakukan penyesuaian strategi agar efek SRBI lebih terasa.

Menurutnya, BI perlu menyesuaikan yield SRBI agar tetap kompetitif tanpa membebani biaya operasional yang signifikan. Selain itu, penggunaan SRBI perlu dilengkapi dengan intervensi pasar valuta asing yang lebih agresif terutama dalam menghadapi volatilitas tinggi.

Sejalan dengan itu, Josua menekankan pentingnya BI memastikan stabilitas fundamental domestik seperti cadangan devisa yang memadai dan likuiditas pasar agar mendukung efektivitas SRBI.

"Terakhir, BI perlu mengelola persepsi pasar terhadap risiko rupiah dengan memberikan panduan kebijakan yang lebih jelas untuk meningkatkan kepercayaan investor asing," tutupnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper