Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan terus mewaspadai beragam tantangan struktural maupun siklikal yang mengancam ekonomi Indonesia, terutama pada masa kepemimpinan presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk kedua kalinya.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (KLI) Kementerian Keuangan Deni Surjantoro menyampaikan bukan hanya Trump 2.0, tantangan siklikal saat ini dipicu tensi geopolitik, dinamika ekonomi USA, pelemahan Eropa, perlambatan ekonomi China.
"Tantangan tersebut berpotensi memicu peningkatan perang dagang, fenomena proteksionisme, fragmentasi, volatilitas harga komoditas, suku bunga, dan nilai tukar," ujarnya kepada Bisnis, Senin (20/1/2025).
Sementara tantangan struktural yang perlu direspon secara konsisten antara lain transisi demografi, perubahan iklim, dan Artificial Intelligence (AI), serta ekonomi digital.
Untuk mengatasi hal tersebut, Deni menyampaikan strategi ekonomi dan fiskal yang ditempuh adalah melakukan transformasi ekonomi dengan penguatan human capital, hilirisasi, mendorong investasi yang berorientasi ekspor, pengembangan ekonomi hijau, serta ketahanan pangan dan energi.
Agar transformasi ekonomi tersebut berjalan efektif maka disertai reformasi fiskal secara holistik baik sisi pendapatan, belanja, dan pembiayaan.
Baca Juga
"Kombinasi transformasi ekonomi dan refom fiskal diharapkan mampu menstimulasi ekonomi, meningkatkan kesejahteraan dan sekaligus penyehatan fiskal," lanjutnya.
Sementara Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan pemerintah masih menunggu kebijakan apa yang akan diterapkan Trump.
Sebagaimana diketahui, Donald Trump segera dilantik menggantikan Joe Biden pada Senin (20/1/2025) pukul 12.00 siang waktu setempat. Jadwal pelantikan Donald Trump itu berlangsung pada Selasa (21/5/2025) sekitar pukul 00.00 WIB.
"Kami lihat saja, kami belum monitor apa yang akan dilakukan. Kalau faktor fundamental kita kan kuat. Jadi tinggal kita melihat kebijakan di sana seperti apa," ujar Airlangga, Senin (20/1/2025).
Pasalnya, rencana implementasi tarif perdagangan Trump menjadi satu kebijakan yang diwaspadai berbagai negara mitra dagang.
Bahkan Bank Dunia dalam laporan Global Economic Prospects (GEP) edisi Januari 2025, melaporkan hasil simulasi sebuah model makroekonomi global digunakan untuk mengkalibrasi kemungkinan implikasi kenaikan tarif AS.
Simulasi menunjukkan bahwa kenaikan tarif AS sebesar 10% pada semua mitra dagang pada tahun 2025, tanpa adanya tarif pembalasan yang diberlakukan sebagai tanggapan, akan mengurangi pertumbuhan global sebesar 0,2% pada tahun tersebut.
Selain itu, pertumbuhan akan lebih lemah sebesar 0,1% setiap kenaikan tarif sebesar 10% tersebut untuk negara berkembang (emerging market and developing economies/EMDE)—di mana Indonesia termasuk ke dalam kategori tersebut.
Lain halnya bila ternyata adanya tarif pembalasan yang proporsional oleh mitra dagang, efek negatif pada pertumbuhan global dan EMDE relatif terhadap baseline akan meningkat menjadi sekitar 0,3% dan 0,2%.
Secara umum, Bank Dunia meramalkan pertumbuhan ekonomi global akan mencapai 2,7% pada 2025. Sementara negara EMDE diproyeksikan stagnan di level 4,1%.
Artinya, bila efek tarif Trump tersebut benar-benar terjadi, ekonomi global dan EMDE akan merosot ke 2,5% dan 4% pada 2025.