Bisnis.com, JAKARTA - Periode panen raya padi diperkirakan berlangsung tidak lama lagi. Setelah defisit bulanan di Januari—Februari, pada Maret—Mei 2025 produksi diperkirakan melimpah.
Mengacu pada tahun-tahun sebelumnya, pada periode panen raya (Februari—Mei) produksi mencapai 60%—65% dari produksi nasional. Produksi berikutnya dihasilkan di musim panen gadu I (Juni—September) dengan produksi 25%—30%.
Sisanya dihasilkan di musim paceklik (Oktober—Januari). Irama tanam serentak yang menghasilkan panen yang ajeg ini bisa kacau balau apabila terjadi perubahan iklim yang menggeser waktu tanam, seperti El Nino pada 2023.
Irama panen yang tidak merata akibat ketergantungan pada iklim/cuaca membuat harga fluktuatif. Harga gabah/beras melorot tatkala panen raya, sebaliknya harga naik tajam saat paceklik.
Nasib petani dan konsumen terombang-ambing di antara dua kutub itu. Ini terjadi karena daya tawar petani lemah dalam perdagangan gabah, sebab surplus jual dan kemampuan menyimpan gabah rendah sedangkan kebutuhan likuiditasnya tinggi. Nasib konsumen sama, daya tawar lemah dalam jual-beli beras dan permintaan beras inelastis. Berapa pun tingkat harga beras, konsumen tidak berpaling ke pangan lain.
Pada saat panen, terutama panen raya, petani menjual seluruh gabah segera setelah panen dalam bentuk gabah kering panen (GKP). Padahal, kualitas gabah sangat dipengaruhi oleh cuaca.
Baca Juga
Saat hujan/mendung, mutu GKP bisa rendah. Dengan karakteristik demikian, pasar gabah bersifat monopsonistik dan tersegmentasi secara lokal, sedangkan penawaran gabah petani amat inelastis. Pasar gabah lokal di tingkat petani tak sempurna, inefisien dan sangat tidak adil, merugikan petani, tetapi menguntungkan pedagang.
Perpaduan antara produksi padi yang fluktuatif, penawaran gabah yang inelastik, dan pasar gabah yang monopsonistik membuat fluktuasi harga gabah di level petani sangat tinggi dan tidak menentu. Artinya, di samping risiko produksi petani juga menghadapi risiko harga.
Jadi, secara keseluruhan risiko usahatani padi amat tinggi. Fluktuasi produksi dan harga juga jadi risiko usaha pedagang gabah/beras. Namun, karena daya tawarnya tinggi, risiko diinternalisasikan pedagang ke ongkos (margin) pemasaran yang tinggi.
Dalam kondisi asimetris demikian, petani perlu tangan-tangan negara. Kehadiran negara, dalam batas-batas tertentu, bisa direpresentasikan oleh Bulog.
Sebagai BUMN, Bulog dapat bertindak sebagai kepanjangan tangan negara dengan cara menyerap gabah/beras produksi petani agar harga tidak jatuh dalam. Untuk melakukan itu, Bulog dibekali harga pembelian pemerintah (HPP), yang tahun ini Rp6.500/kg GKP di petani.
Ini tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional No. 2/2025 tentang Perubahan atas Harga Pembelian Pemerintah dan Rafaksi Gabah dan Beras yang berlaku sejak 15 Januari 2025. Syaratnya, maksimal kadar air dan hampa masing-masing 25% dan 10%. Kadar air dan hampa lebih tinggi berlaku harga rafaksi yang lebih rendah.
Tahun ini pemerintah memutuskan tidak menugaskan Bulog untuk mengimpor beras. Keyakinan itu didasarkan pada produksi beras di 2025 yang diperkirakan mencapai 32,29 juta ton, naik 1,94 juta ton (6,39%) dibandingkan dengan 2024.
Dengan konsumsi 31,037 juta ton berarti ada surplus beras 1,253 juta ton. Jika target terwujud, ini kenaikan produksi yang besar. Ini ‘sejarah baru’ setelah 6 tahun berturut-turut sejak 2018 produksi padi terus menurun, juga membalikkan produksi dikurangi konsumsi minus di 2024.
Meskipun belum puncak panen raya, saat ini di sejumlah daerah dilaporkan harga gabah turun di bawah HPP. Ini kesempatan sekaligus tantangan bagi Bulog untuk unjuk kerja. Dengan tidak ada impor berarti Bulog harus mengalihkan sumber stok dari luar negeri jadi sepenuhnya dari penyerapan produksi domestik. Ini tidak mudah.
Lima tahun terakhir (2019—2023), rerata penyerapan beras domestik Bulog hanya 0,799 juta ton/tahun. Ini terjadi karena harga gabah dan beras di pasar selalu di atas HPP. Padahal HPP ini jadi pedoman pengadaan Bulog. Memang ada harga rafaksi, tetapi dengan kapasitas dryer terbatas dan kapasitas penggilingan hampir dua kali produksi gabah, perebutan gabah di pasar bebas akan menantang. Bulog perlu menggandeng mitra penggilingan yang tepat.
Bulog bisa membeli beras dari penggilingan dan pedagang yang juga punya penggilingan. Keterbatasan dryer Bulog tertutupi lewat kerja sama ini. Lewat cara ini, Bulog tak berkompetisi langsung dalam memperebutkan gabah/beras di pasar.
Bulog perlu memberikan margin fee kepada swasta. Dengan perputaran stok yang cepat, meski margin tipis, pelaku swasta akan terbantu likuiditasnya. Kendati demikian, langkah ini berimplikasi pada harga beras yang tinggi, yang membuat harga pokok Bulog tinggi.
Ini membuat penetrasi beras Bulog di pasar akan rendah. Operasi pasar untuk stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) guna menstabilkan harga efektivitasnya berkurang. Karena harga pokok Bulog sangat mungkin di atas harga pasar umum.
Situasi ini berkebalikan dari kondisi 2023 dan 2024, yang harga pokok Bulog di bawah pasar umum karena sumbangan harga beras impor yang relatif murah. Selain itu, kualitas beras impor bagus, yakni beras premium dengan derajat sosoh 100% dan butir patah 5%.
Sebaliknya, beras SPHP derajat sosoh 100% dan butir patah 25%. Boleh jadi, konsumen akan merasa turun kualitas. Akan tetapi, konsumen perlu ingat bahwa ini beras produksi petani Merah Putih. Selain lebih segar, juga cocok lidah Indonesia. Jerih payah mereka mesti dihargai.