Bisnis.com, JAKARTA --- Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berambisi membangun kilang minyak baru untuk mewujudkan kemandirian energi. Tak tanggung-tanggung total kapasitas kilang yang akan dibangun mencapai 1 juta barel per hari yang akan tersebar di sejumlah lokasi.
Semula ide pembangunan kilang baru yang digagas hanya berkapasitas 500.000 barel. Belakangan rencana itu diubah dengan meningkatkan kapasitas kilang menjadi 1 juta barel per hari.
Belum jelas siapa yang akan ditugasi untuk membangun. Namun, pembangunan kilang minyak jumbo itu rencananya akan didanai sebagian oleh BPI Danantara. Pemerintah juga membuka peluang untuk menggandeng investor lain, termasuk PT Pertamina (Persero).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan, Pertamina yang merupakan perusahaan migas pelat merah bisa menjadi operator kilang jumbo tersebut.
"Nah, menyangkut nanti [operatornya] akan diserahkan siapa nanti kita akan bahas. Saya pikir Pertamina salah satu yang harus kita pertimbangkan karena dia adalah BUMN yang di bidang energi," kata Bahlil di Cilegon, Banten, Kamis (13/3/2025).
Bahlil sebelumnya menegaskan bahwa wacana pembangunan kilang merupakan hasil rapat terbatas (ratas) implementasi teknis hilirisasi bersama Presiden Prabowo.
Baca Juga
Dia menyebut, salah satu pertimbangan peningkatan kapasitas kilang minyak ini yaitu adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan produksi minyak dalam negeri. Oleh karena itu, pemerintah akan membangun terminal penyimpanan BBM (storage) dengan kapasitas yang sama dengan kilang.
Terpisah, Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengonfirmasi pembangunan kilang akan tersebar di Sumatra, Kalimantan, hingga kawasan Indonesia timur.
"Jadi Pak Menteri ESDM sudah menyampaikan revisi itu, tidak di satu titik, tetapi akan dibangun di beberapa titik. Jadi ada di Sumatra, Kalimantan, dan mungkin juga di kawasan timur Indonesia lain," kata Yuliot di Kantor Kementerian ESDM, Rabu (12/3/2025).
Kendati demikian, dia belum memberikan kepastian mengenai kapasitas masing-masing kilang yang akan dibangun. Menurutnya, proyek tersebut masih dalam tahap konsolidasi dan akan disesuaikan dengan skala ekonomis.
Terkait nilai investasi proyek ini, Yuliot mengatakan pihaknya masih melakukan perhitungan.
"Ya ini karena ini sudah ini sesuai dengan arahan yang terbaru. Ini harus didistribusikan berdasarkan kapasitas ya ini lagi dihitung," katanya.
Namun, untuk pembangunan kilang berkapasitas 500.000 barel pemerintah mengeklaim perlu investasi sebesar US$12,5 miliar atau setara Rp205,54 triliun (asumsi kurs Jisdor Rp16.443 per US$).
Dengan asumsi nilai yang sama, maka pembangunan kilang berkapasitas 1 juta barel itu membutuhkan investasi sekitar Rp411 triliun.
Risiko Pembiayaan
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti menilai pemerintah perlu mengkaji secara hati-hati rencana pembangunan kilang minyak baru berkapasitas total 1 juta barel per hari.
Yayan berpendapat risiko dari pembangunan kilang raksasa itu ada pada pembiayaan. Menurutnya, perlu sejumlah dana yang besar dan komitmen dari pemerintah untuk segera mengeksekusinya dengan baik.
Oleh karena itu, dia juga mengingatkan pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi.
"Efisiensi dan perbaikan iklim investasi perlu diperbaiki agar prosesnya lebih cepat sehingga menurunkan incremental capital output ratio (ICOR) pada sektor ini," kata Yayan kepada Bisnis, Rabu (12/3/2025).
Dia menyebut, jika pemerintah ingin infrastruktur energi agar mendukung target ekonomi 8%, nilai ICOR yang harus diperoleh minimal 4%.
Yayan menambahkan bahwa agar investasi pada kilang ini menarik, asumsi dari proyek harus jelas terlebih dahulu. Begitu juga dengan targetnya.
"Misal generating income, cost dan asumsi risiko, [harus jelas] sehingga kita memperoleh internal rate and return atau economic rate of return yang doable," jelas Yayan.
Dia pun berpendapat jika hal itu dilaksanakan secara prudent, bisa meminimalkan risiko.
Yayan menambahkan bahwa pembangunan kilang itu saat ini memang cukup penting. Ini khususnya untuk pemerataan dan kemandirian energi.
"Artinya ini meningkatkan security dan certainty dalam hal pasokan BBM, tapi harus dikawal dengan baik proses manajemen good corporate governance-nya untuk pengelolaan kilang ini," tuturnya.
Jangan Hanya Bergantung pada Danantara
Senada, Kepala Centre of Food, Energy and Sustainable Development INDEF Abra Talattov meminta pemerintah untuk tidak menggantungkan pembangunan kilang minyak baru hanya kepada BPI Danantara.
Abra mengatakan, proyek pembangunan kilang minyak memiliki risiko besar dan investasi jangka panjang. Oleh karena itu, pembangunan dan pembiayaan proyek tersebut memerlukan kolaborasi perusahaan asing. Terlebih, dalam kaitannya dengan investasi di bidang teknologi kilangnya.
"Perlu juga kolaborasi dengan pihak lain, perusahaan-perusahaan luar, yang memiliki kapasitas memiliki kemampuan teknologi dan juga pendanaan itu pun juga kan mengalami kendala," ujar Abra.
Terkait pendanaan, Abra juga mengingatkan bahwa pembangunan kilang ini memerlukan biaya yang sustainable. Artinya, sejak masa konstruksi hingga operasional, pendanaan harus mengalir terus.
Selain itu, pemerintah juga harus memperhatikan risiko atau tantangan dari regulasi dan perizinan. Dia mengingatkan jangan sampai perizinan pembangunan kilang sewaktu-waktu berubah.
Menurutnya, jika regulasi dan perizinan tak konsisten, maka akan menghambat atau menunda pelaksanaan realisasi proyek.
"Kemudian juga ada risiko lingkungan dan sosial. Ketika ada pembangunan kilang kan pastinya ini juga akan dengan risiko lingkungan juga harus bisa dimitigasi lebih awal jangan sampai nanti ada resistensi dari masyarakat," imbuh Abra.
Dia menambahkan bahwa pemerintah harus memastikan minyak yang akan diolah pada kilang baru itu akan berasal dari mana. Menurutnya, jika minyak berasal dari impor, pemerintah harus bisa membuat mitigasi.
Sebab, harga minyak impor akan bergantung pada situasi pasar global. Artinya, jika harga minyak global meningkat, maka beban produksi untuk kilang juga akan berat.
"Dikhawatirkan juga ketika terjadi guncangan ataupun lonjakan harga minyak mentah dunia, karena faktor geopolitik misalnya, itu juga nanti tetap saja akan menjadi beban produksi, resiko biaya produksi di kilang tersebut," jelas Abra.