Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penambang Sebut Tarif Royalti Nikel RI Tertinggi di Dunia

Tarif royalti nikel di Indonesia disebut menjadi yang tertinggi dibandingkan dengan negara-negara penghasil nikel lainnya.
Proses penambangan Nikel PT Vale Indonesia Tbk. di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Jumat (28/7/2023)/Bisnis-Paulus Tandi Bone
Proses penambangan Nikel PT Vale Indonesia Tbk. di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Jumat (28/7/2023)/Bisnis-Paulus Tandi Bone

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) membeberkan tarif royalti nikel di Indonesia menjadi yang tertinggi dibandingkan dengan negara-negara penghasil nikel lainnya. 

Sekjen APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan, pihaknya pun meminta pemerintah untuk kembali mempertimbangkan ulang rencana kenaikan tarif royalti tahun ini dari single tariff 10% menjadi progresif 14%—19% untuk bijih nikel

"Saya coba banding-bandingkan dengan negara lain. Ternyata dari seluruh negara penghasil nikel, kita yang tertinggi, yang 10%. Belum tambah yang 14-19%,” kata Meidy, Senin (18/3/2025). 

Dia menerangkan bahwa perbandingan tersebut baru menggunakan besaran tarif 10% sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 2019 mengatur tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Menurut Meidy, rencana kenaikan royalti dengan kisaran 14%—19% tidak realistis. Terlebih industri saat ini dihadapkan berbagai kewajiban yang meningkatkan ongkos produksi, sementara harga nikel global terus mengalami penurunan. Beban royalti yang meningkat akan makin menggerus margin usaha yang sudah tipis.

“Negara penghasil nikel, bahkan ada yang bayar royalti basisnya profit. Kayak pajak saja. Di beberapa negara seperti Amerika, Afrika, Eropa, dan negara-negara tetangga kita lebih rendah dibanding Indonesia,” jelasnya. 

Dia menyebutkan, tarif royalti nikel di negara produsen di Asia seperti China besaran tarifnya hanya 2–10%, Jepang 1–1,2%, Filipina 5–9%, Vietnam 10%. 

Kemudian, di Afrika seperti DRC (Congo) besaran tarif royalti nikel sebesar 3,5%, Afrika Selatan 0,5 -7%, dan Zambia besar tarif royalti nikel 5%. Di Eropa, Rusia misalnya, tarif yang dikenakan pun hanya 8%. 

Meidy menuturkan, kenaikan tarif royalti justru hanya akan memicu berkurangnya minat investasi di sektor hulu-hilir nikel, menurunkan daya saing produk nikel Indonesia di pasar global hingga memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal akibat tekanan margin, terutama di sektor hilir vang menyerap ratusan ribu tenaga kerja.

Pasalnya, kenaikan tarif royalti dengan besaran tersebut dapat menekan margin produksi dengan cukup signifikan, bahkan di bawah biaya produksi. Hal ini membuat pemegang izin usaha pertambangan (IUP) memilih berhenti beroperasi. 

"Kalau penerapan royalti 14%, ada beberapa IUP yang 'sudahlah tutup saja, daripada produksi, rugi," ujarnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper