Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia akan mengalami perubahan demografi pesat dalam beberapa dekade mendatang, terutama dari sisi lonjakan jumlah penduduk lansia. Produk-produk yang mendukung kebiasaan konsumsi berorientasi nutrisi bakal semakin dicari.
Commercial Director ASEAN IFF Vikki Paterson menjelaskan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pun telah memperkirakan bahwa jumlah penduduk usia 60 tahun ke atas di Tanah Air akan mencapai 23% dari total populasi pada 2045.
"Seiring bertambahnya jumlah lansia, mereka menghadapi tantangan nutrisi yang berpengaruh pada kesehatan dan kualitas hidup mereka. Sejalan dengan itu, sebenarnya tren kesadaran masyarakat Indonesia tentang pentingnya nutrisi dalam mendukung umur panjang pun terus meningkat," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (26/5/2025).
Studi Mintel, 2024 menunjukkan bahwa 57% konsumen Indonesia telah mempertimbangkan faktor nutrisi saat memilih makanan. Selain itu, 80% konsumen Indonesia mengaitkan protein dengan kesehatan secara umum, sehingga permintaan terhadap produk berbasis protein nabati terus meningkat (FMCG Gurus, Active Nutrition in Indonesia, 2023).
"Namun, meskipun kesadaran meningkat, tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana mengubahnya menjadi kebiasaan konsumsi yang konsisten. Dua hal masih menjadi kendala utama, yaitu edukasi konsumen yang minim, serta akses yang masih terbatas terhadap produk nutrisi fungsional," tambahnya.
Vikki mencontohkan bahwa salah satu yang patut jadi perhatian utama 'calon-calon lansia' masa depan adalah kehilangan massa otot dan sarkopenia, yaitu penurunan massa dan kekuatan otot secara bertahap yang meningkatkan risiko jatuh, serta mengurangi mobilitas.
Baca Juga
Selama ini, karena minimnya awareness terkait hal-hal tersebut, banyak lansia di Indonesia mengabaikan kebutuhan protein mereka sendiri. Terlebih, diperparah oleh efek kesalahpahaman umum, bahwa diet tinggi protein hanya diperlukan oleh atlet atau individu yang lebih muda.
"Selain itu, rasa dan kebiasaan makan juga memainkan peran penting. Pola makan tradisional Indonesia yang kaya karbohidrat sering kali akhirnya memiliki kandungan protein yang rendah secara total," jelas Vikki.
Padahal, penyakit kronis seperti diabetes, penyakit kardiovaskular, dan osteoporosis semakin umum terjadi di kalangan lansia Indonesia, sehingga diperlukan intervensi nutrisi yang tepat guna membantu pengelolaan kondisi ini.
Pada saat yang sama, studi menunjukkan bahwa baru 57% konsumen Indonesia mengakui peran nutrisi dalam umur panjang. Permintaan terhadap protein berkualitas tinggi, makanan yang diperkaya nutrisi, hingga suplemen khusus lansia sebenarnya meningkat, tapi belum benar-benar terasa signifikan.
"Salah satu tren utama yang mulai terlihat adalah pergeseran dari protein hewani ke protein nabati, dengan kedelai menjadi pilihan utama karena profil asam aminonya yang lengkap, harga yang terjangkau, dan keberlanjutan yang lebih baik," ungkapnya.
Oleh sebab itu, Vikki menekankan bahwa jenama makanan & minuman (F&B) lokal memiliki peluang besar untuk mengembangkan produk berbasis nabati yang disesuaikan dengan selera budaya dan kebiasaan konsumsi masyarakat Indonesia.
Potensi F&B Kaya Protein Nabati
Seiring fenomena meningkatnya jumlah lansia, Vikki melihat tren F&B di Tanah Air dalam beberapa dekade ke depan akan mulai mengarah pada produk yang diperkaya dengan vitamin, mineral, dan probiotik untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan fungsi kognitif.
Pada prinsipnya, protein hewani seperti whey dan kasein, dikenal memiliki kecepatan penyerapan yang berbeda dalam mendukung pemulihan otot. Jika whey tergolong lebih cepat, kasein lebih lambat. Namun, protein hewani sering dikaitkan dengan dampak lingkungan yang lebih besar dibandingkan protein nabati.
Di sisi lain, protein nabati seperti kedelai, kacang polong, dan beras semakin populer. Kedelai menjadi pilihan unggulan karena merupakan satu-satunya protein nabati dengan profil asam amino lengkap yang mudah ditemukan, serta memberikan manfaat tambahan seperti penurunan kadar kolesterol dan dukungan kesehatan jantung.
Pasar Indonesia sendiri menunjukkan pergeseran menuju protein nabati, didorong oleh meningkatnya kesadaran akan keberlanjutan dan manfaat kesehatan fungsional. Seiring meningkatnya inovasi dalam produk berbasis nabati, lebih banyak merek mengeksplorasi formulasi baru untuk memenuhi kebutuhan nutrisi lansia.
Namun, patut diakui, kunci keberhasilan paling besar terletak pada inovasi, pengintegrasian cita rasa lokal dan adaptasi budaya, sehingga produk berbasis nabati dapat memenuhi preferensi konsumen dan diterima dengan baik oleh konsumen Indonesia.
"Rasa dan tekstur tetap menjadi faktor penting dalam penerimaan konsumen, mendorong perusahaan untuk mengembangkan formulasi yang lebih ramah bagi lansia. Investasi dalam penelitian dan pengembangan [R&D], serta klaim ilmiah terus berkembang untuk memastikan solusi yang kredibel dan berbasis bukti," jelasnya.
Terlebih, seiring bertambahnya usia, sensitivitas rasa seseorang dapat menurun, sehingga makanan menjadi kurang menarik. Maka, rasa dan tekstur produk makanan harus diperhatikan agar lebih menarik bagi lansia sambil tetap memenuhi kebutuhan nutrisi mereka.
"Faktor lain yang menjadi kendala adalah harga. Banyak konsumen Indonesia sensitif terhadap harga, sehingga enggan membeli sumber protein premium, meskipun mereka menyadari manfaat kesehatannya. Sebagai alternatif yang lebih terjangkau, protein kedelai menjadi pilihan menarik," tambah Vikki.
Selain itu, keberlanjutan akan menjadi faktor penting, dengan semakin banyak merek yang menggunakan bahan baku lokal untuk mengurangi dampak lingkungan dan mendukung pertanian domestik.
Untuk mengatasi tantangan ini, perusahaan perlu berinovasi dengan produk yang relevan secara budaya, serta memastikan bahwa pilihan makanan tinggi protein dapat diakses secara mudah, serta menarik bagi lansia.
Selain itu, edukasi yang lebih luas diperlukan untuk meningkatkan pemahaman lansia tentang peran protein dalam menjaga massa otot, mencegah penyakit kronis, dan mendukung umur panjang. Dengan meningkatnya kesadaran, pasar nutrisi lansia di Indonesia diproyeksikan akan tumbuh dengan pesat.
Terlebih, data penjualan global menunjukkan pertumbuhan yang stabil dalam merek nutrisi fungsional yang menargetkan lansia, mencerminkan minat yang meningkat terhadap solusi penuaan sehat.
Secara global, pasar nutrisi lansia mengalami pertumbuhan signifikan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata (CAGR) sebesar 6,9% dari tahun 2025 hingga 2032. Asia, sebagai wilayah dengan lebih dari setengah populasi dunia, mengalami penuaan lebih cepat dibandingkan benua lainnya.
Konsumsi produk nutrisi di kalangan lansia diperkirakan akan terus meningkat seiring pertumbuhan populasi lansia. Tren ini, yang juga dikenal sebagai longevity economy, menawarkan peluang besar dalam menyediakan makanan dan minuman yang diperkaya untuk memastikan lansia mendapatkan asupan nutrisi yang cukup setiap hari.