Head of PR Asus Indonesia Muhammad Firman mengatakan, jika kebijakan relaksasi mengurangi atau bahkan menghapuskan kewajiban TKDN sebesar 40%, pihaknya akan siap menyesuaikan diri dengan regulasi baru tersebut. Sebab, Firman menyebut bahwa relaksasi ini bakal memudakan pihaknya saat melalukan produksi.
“Kalau memang tidak diperlukan lagi TKDN, atau tidak perlu 40%, tentunya akan memudahkan kita dari sisi produksi, karena cukup mengimpor saja secara utuh,” kata Firman kepada Bisnis, Selasa (8/4/2025).
Meski kebijakan ini bakal memudahkan Asus melakukan produksi, Firman menilai kebijakan relaksasi TKDN tidak akan menguntungkan bagi Indonesia.
Sebab, kebijakan relaksasi TKDN bakal membuat ekosistem industri teknologi di Indonesia ke depannya kurang berkembang.
“Kami melihat ini [relaksasi TKDN] cenderung kurang menguntungkan bagi pertumbuhan ekosistem industri teknologi di Indonesia ke depannya,” ucapnya.
Senada, Center of Economics and Law Studies (Celios) menilai rencana relaksasi TKDN berisiko membuat pabrik perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) tutup dan hengkang dari Indonesia
Baca Juga
Direktur Ekonomi Digital Celios Nailul Huda menyebut, beberapa produsen ponsel global sudah memiliki pabrik di Indonesia sebagai syarat untuk menjual produk milik mereka ke pasar dalam negeri.
Ketika perusahaan-perusahaan yang telah taat terhadap regulasi TKDN melihat adanya pesaing yang bisa mengimpor produk tanpa perlu membangun manufaktur di Indonesia, mereka akan kecewa.
“Maka perlu hati-hati dalam menyikapi masalah TKDN ini . Jangan sampai relaksasi TKDN justru merugikan industri secara luas,” kata Huda kepada Bisnis, Selasa (8/4/2025).
Huda mengatakan, relaksasi TKDN bagi produk ICT memang dapat dipertimbangkan. Mengingat dinamika yang terjadi, seperti kasus tarik ulur dengan Apple yang telah menyita banyak energi.
Terlebih, pemerintah ingin mendorong pengembangan produk ICT dalam negeri agar bisa bersaing dengan produk luar.
Namun, tantangan besar seperti keterbatasan infrastruktur, bahan baku, hingga sumber daya manusia yang ada di Indonesia, membuat iklim usaha di sektor teknologi belum sepenuhnya berkembang.
“Relaksasi ini bisa menjadi jalan untuk masuknya teknologi baru ke Indonesia,” ucapnya.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif ICT sekaligus pengamat ekonomi digital, Heru Sutadi mengingatkan bahwa mengurangi ketentuan TKDN berisiko besar bagi industri komponen lokal yang saat ini tengah berkembang.
Banyak industri komponen lokal yang bergantung pada pesanan dari pabrik ponsel besar, sehingga kebijakan pengurangan TKDN dapat menyebabkan mereka terpuruk.
“Sehingga harus berhati-hati, jangan sampai jadi bunuh diri ekonomi, karena industri dalam negeri bakal kalah saing dengan impor murah,” ujar Heru.
Selain itu, Heru juga menyoroti potensi dampak jangka panjang dari penurunan TKDN, yakni meningkatnya ketergantungan Indonesia pada impor komponen.
Apalagi, Heru menyebut berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin), industri elektronik di Indonesia sudah menggunakan 80% komponen impor, yang menunjukkan bahwa ketergantungan pada komponen asing sudah cukup tinggi.
Sebagai alternatif, Heru menyarankan bukan mengurangi ketentuan TKDN, tetapi meningkatkan persentase TKDN dengan fokus pada pengembangan inovasi, bukan sekadar perakitan.
“Misalnya, kembangkan cip lokal atau komponen bernilai tinggi, seperti yang sukses Vietnam lakukan,” tuturnya.