Bisnis.com, JAKARTA — Boeing, perusahaan manufaktur pesawat asal Amerika Serikat (AS), kini terjerat dalam krisis baru yang disebabkan perang dagang antara AS dan China.
Krisis ini dipicu kebijakan tarif impor yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump dimana mengenakan tarif mencapai 145% untuk sejumlah produk dari China.
China telah memerintahkan maskapai penerbangannya untuk tidak menerima pengiriman jet Boeing Co sebagai bagian dari perang dagang. Selain itu, maskapai penerbangan China menghentikan pembelian peralatan dan suku cadang terkait pesawat dari perusahaan-perusahaan AS.
Perintah tersebut dikeluarkan setelah China mengumumkan tarif balasan sebesar 125% pada barang-barang Amerika. Pungutan tersebut sendiri akan lebih dari dua kali lipat biaya pesawat dan suku cadang buatan AS sehingga tidak praktis bagi maskapai penerbangan China untuk menerima pesawat Boeing.
Pemerintah China juga tengah mempertimbangkan cara untuk memberikan bantuan kepada maskapai penerbangan yang menyewa jet Boeing dan menghadapi biaya yang lebih tinggi.
Dilansir dari akun media sosial AS, perang dagang tersebut menjerumuskan industri penerbangan AS ke dalam krisis. Penghentian pengiriman Boeing di China sangat berdampak pada Boeing. Saham Boeing anjlok 14% dalam satu hari dan menghapus lebih dari US$100 miliar nilai pasar. Selain itu, membuat Boeing memPHK 17.000 karyawan keluar dari jalur produksi dan mempercepat arus bawah relokasi rantai pasokan global.
Baca Juga
Neraca keuangan Boeing mengkhawatirkan dimana rasio utang terhadap aset sebesar 102,5%. Pembekuan di China telah memutus jalur hidup Boeing dimana 55 pesawat yang belum terkirim dan terdampar di China. Lebih dari separuhnya adalah milik maskapai penerbangan China yang mengunci likuiditas senilai US$1 miliar.
China akan beralih menggunakan pesawat Airbus untuk 320 pesanan baru tersebut akan menghancurkan pangsa pasar Boeing dari 53% pada tahun 2018 menjadi 7% sehingga menghilangkan pertumbuhannya di pasar penerbangan terbesar di dunia.
Dilansir Bloomberg, saham perusahaan pembuat pesawat AS itu anjlok hingga 2,5% pada hari Selasa (15/4/2025) setelah Bloomberg News melaporkan pergerakan China dan turun 1,2% pada pukul 11:13 pagi di New York. Pada Kamis (17/5/2025), saham Boeing berada di level US$$161.90 atau turun -8,58% dalam setahun terakhir.
Perselisihan antara dua ekonomi terbesar dunia itu telah menjebak Boeing di tengah-tengah. Presiden AS Donald Trump mengkritik Pemerintah China yang mengingkari kesepakatan besar Boeing. Bagi Boeing, kebuntuan ini merupakan kemunduran baru di salah satu pasar penjualan pesawat terbesar di dunia.
"Ada harapan bahwa ini hanya sementara dan memberi China nilai tawar dalam negosiasi apa pun," kata analis Jefferies Sheila Kahyaoglu.
China diperkirakan akan memenuhi 20% permintaan pesawat global selama dua dekade mendatang. Pada 2018, hampir seperempat produksi Boeing berakhir di China. Namun, pembuat pesawat AS tersebut belum mengumumkan pesanan besar di China dalam beberapa tahun terakhir karena ketegangan perdagangan dan masalah yang ditimbulkannya sendiri.
Pada 2019, China menjadi negara pertama yang menghentikan sementara produksi 737 Max setelah dua kecelakaan yang mematikan. Sengketa dagang dengan pemerintahan Biden dan pemerintahan Trump juga turut mendorong pesanan China ke Airbus Eropa. Kemudian di tahun 2024, Boeing mengalami krisis kualitas ketika penutup pintu meledak di tengah penerbangan pada bulan Januari.
Analis JPMorgan Seth Seifman menuturkan dampak dari hilangnya pangsa pasar Boeing di China telah sedikit berkurang akibat melonjaknya permintaan pesawat baru di pasar global lainnya. Maskapai penerbangan India yang berkembang pesat telah mengambil sebagian dari pesawat 737 Max yang awalnya dibuat untuk maskapai China.
Perusahaan AS tersebut telah mengirimkan 13 jet 737 Max dan tiga 787 ke China tahun ini dengan 28 Max dan satu 787 tersisa berdasarkan data Cirium.
“Kami tidak melihat Tiongkok sebagai hal yang penting bagi peningkatan Boeing selama beberapa tahun ke depan. Namun, Tiongkok akan menjadi penting dalam jangka panjang,” katanya.
Kebuntuan tersebut juga menggarisbawahi bahwa China masih bergantung pada produsen luar negeri untuk pesawat penumpang guna memenuhi permintaan perjalanan udara penduduknya.
Di sisi lain, Airbus merupakan pemasok yang lebih penting dan maskapai penerbangan China mengandalkan Comac C919 yang diproduksi di dalam negeri untuk melengkapi kebutuhan pesawat berbadan sempit mereka, sedangkan maskapai penerbangan masih memiliki ratusan pesawat Boeing dalam armada maskapai China yang memerlukan perawatan, perbaikan, dan penggantian.
Sejumlah maskapai penerbangan dan perusahaan penyewaan pesawat China telah membangun cadangan suku cadang selama beberapa tahun terakhir baik dari OEM maupun dari pembelian pesawat lama. Hal ini dapat membantu industri penerbangan negara itu mengatasi keterbatasan ketersediaan.
Analis Bloomberg Intelligence George Ferguson menuturkan penghentian pengiriman Boeing oleh China bukanlah hal yang tidak terduga di tengah perang dagangnya dengan AS.
Menurutnya, penghentian pengiriman tersebut seharusnya dapat dikelola mengingat pesanan negara China hanya sebagian kecil dari yang tertunda. Namun, jika Boeing tidak dapat menjual pesawat tersebut ke maskapai lain dimana maskapai India telah menunjukkan minat yang kuat, Boeing dapat memangkas inventaris dan meningkatkan efisiensi.
Untuk diketahui, Boeing melaporkan kerugian sebesar US$11,83 miliar pada 2024 akibat masalah di unit komersial dan pertahanannya. Kerugian tersebut menjadi yang terbesar sejak 2020.