Bisnis.com, JAKARTA — Neraca perdagangan Indonesia tercatat surplus senilai US$4,33 miliar pada Maret 2025. Kendati demikian, para ekonom memproyeksikan surplus dagang tersebut akan menyusut secara bertahap pada tahun ini karena dampak tarif Trump.
Ekonom senior Samuel Sekuritas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menjelaskan neraca perdagangan Indonesia ke depan masih diliputi ketidakpastian terutama akibat meningkatnya risiko pelemahan permintaan ekspor dan pergeseran permintaan domestik.
Alasannya, terjadi eskalasi perang dagang akibat penerapan tarif resiprokal oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kepada para mitra dagangnya termasuk Indonesia.
Fithra meyakini tarif Trump tersebut dapat menyebabkan pelemahan permintaan dari mitra dagang utama Indonesia seperti China, AS, dan Uni Eropa sehingga menurunkan volume ekspor, khususnya di sektor manufaktur dan dan yang berbasis sumber daya alam. Selain itu, fluktuasi harga energi dan mineral global dapat memengaruhi nilai ekspor Indonesia.
"Mengingat faktor-faktor ini, surplus perdagangan Indonesia diperkirakan akan menurun secara bertahap sepanjang 2025 karena kita menghadapi risiko eksternal secara terus menerus," ujar Fithra dalam keterangannya, Senin (21/4/2025).
Sejalan dengan itu, dia melihat akan terjadi pelebaran defisit transaksi berjalan menjadi 1,5% terhadap PDB pada akhir tahun.
Baca Juga
Senada, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede pun melihat neraca perdagangan Indonesia ke depan bisa tertekan akibat penerapan tarif resiprokal Trump.
"Hal ini juga berdampak pada prospek transaksi berjalan yang diperkirakan akan mengalami defisit sebesar 1,18% dari PDB tahun ini," ujar Josua kepada Bisnis, dikutip pada Selasa (22/4/2025).
Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan surplus perdagangan US$4,33 miliar pada Maret 2025 lebih tinggi dari bulan sebelumnya. Pada Februari 2025, surplus neraca perdagangan tercatat sebesar US$3,12 miliar.
Sementara itu, secara kumulatif, neraca perdagangan selama Januari hingga Maret 2025 mencapai US$10,92 miliar.
"Indonesia mencatatkan surplus 59 bulan beruntun sejak Mei 2020," ujar Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam Rilis BPS, Senin (21/4/2025).
Amalia menyebutkan surplus ditopang komoditas nonmigas dengan surplus perdagangan senilai US$6 miliar. Sejumlah komoditas pendorong surplus antara lain lemak dan hewan minyak nabati, bahan bakan mineral, serta besi dan baja.
"Pada saat yang sama, neraca perdagangan migas defisit US$1,67 miliar dengan komoditas penyumbang defisit adalah hasil minyak dan minyak mentah," jelasnya.