Bisnis.com, JAKARTA — Surplus dagang Indonesia dengan Amerika Serikat bakal mendapatkan ujian usai Presiden Donald Trump menerapkan tarif resiprokal sebesar 19%.
Adapun, neraca perdagangan Indonesia pada Juni 2025 mengantongi surplus US$4,10 miliar, meski menciut secara bulanan imbas kinerja ekspor yang turun. Pada Mei 2025, neraca perdagangan Indonesia mampu mencapai US$4,30 miliar.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengatakan, meski saat ini Indonesia masih mencatat surplus neraca perdagangan, tetapi ke depan akan semakin menantang usai diberlakukannya tarif resiprokal Trump terhadap semua negara, termasuk Indonesia.
Tarif Trump dijadwalkan mulai berlaku dalam tujuh hari ke depan sejak dirilisnya keputusan terbaru Trump pada 1 Agustus 2025, atau akan diberlakukan mulai 7 Agustus 2025.
“Kami tentu bersyukur kita masih bisa mempertahankan surplus perdagangan. Sejujurnya pasca adanya tarif resiprokal AS, Indonesia harus kerja keras agar bisa tetap surplus hingga akhir tahun,” kata Shinta, Jumat (1/8/2025).
Menurut Shinta, ada sejumlah faktor yang membuat Indonesia harus bekerja keras mempertahankan surplus neraca perdagangan. Pertama, pasar global diproyeksikan mengalami kontraksi permintaan sebagai efek samping dari penyesuaian pasar global terhadap arah kebijakan perdagangan AS.
Baca Juga
“Ini bahkan diamini oleh institusi internasional seperti WTO yang memperkirakan demand perdagangan global akan kontraksi setidaknya 0,2%, di mana potensi kontraksi demand akan semakin besar pada negara-negara berkembang dan LDCs yang diversifikasi perdagangannya rendah seperti Indonesia,” ujarnya.
Selain itu, Shinta menuturkan bahwa harga komoditas global juga diperkirakan turun karena perubahan iklim perdagangan global. Imbasnya, semakin menyulitkan Indonesia dan negara berkembang lain untuk meningkatkan kinerja ekspor.
Kedua, Indonesia harus rela kehilangan sebagian surplus perdagangan dengan AS sebagai bentuk komitmen dalam perjanjian dagang antara Indonesia dan Negara Paman Sam.
Ketiga, kebutuhan impor Indonesia yang terus meningkat menjadi tantangan dalam menjaga surplus perdagangan. Shinta mengatakan bahwa Indonesia tidak bisa secara agresif menekan impor melalui regulasi untuk menciptakan surplus perdagangan.
“Karena langkah ini akan sangat backfire [berdampak negatif] terhadap pertumbuhan ekonomi dan kinerja industri di dalam negeri, termasuk pertumbuhan kinerja ekspor itu sendiri,” sambungnya.
Terlebih, Shinta menyampaikan bahwa sekitar 90% impor Indonesia adalah bahan baku/penolong dan barang modal yang dibutuhkan industri dalam negeri agar investasi terealisasi dan bisa memproduksi barang/jasa termasuk produk ekspor untuk menjaga stabilisasi pasar domestik.
“Jadi impor harus tetap dibuka dan dibiarkan tumbuh selama tidak merusak persaingan dagang yang sehat di dalam negeri, dengan risiko terhadap penciptaan surplus dagang,” lanjutnya.
Menurut Shinta, ketiga hal itu bisa menciptakan kesulitan bagi Indonesia untuk mempertahankan surplus perdagangan ke depan jika hanya mengandalkan kondisi status quo.
“Satu-satunya cara untuk mempertahankan surplus adalah dengan diversifikasi produk ekspor dan negara tujuan ekspor,” ujarnya.
Shinta menilai bahwa idealnya perlu dilakukan dengan peningkatan investasi atau industrialisasi yang berorientasi ekspor sehingga volume ekspor, ragam ekspor, dan pasar tujuan ekspor menjadi meningkat.
Di samping itu, Shinta menyebut untuk alternatif lain untuk mempertahankan surplus neraca perdagangan adalah dengan membuat biaya berbisnis di dalam negeri menjadi lebih efisien (cost of doing business) yang utamanya untuk industri berorientasi ekspor.
Selain itu, sambung dia, perlu adanya dukungan terhadap eksportir berupa stimulus seperti perluasan akses, pembiayaan ekspor yang terjangkau, subsidi atau insentif untuk peningkatan kualitas produk ekspor, hingga untuk diversifikasi pasar tujuan ekspor.
Dia menjelaskan, dengan adanya efisiensi bisnis dan insentif akan mendongkrak volume dan kinerja ekspor nasional secara eksponensial. Langkah ini juga menjadi antisipasi untuk menggantikan hilangnya surplus dari perdagangan dengan AS imbas tarif resiprokal.
“Kalau kedua langkah ini tidak dilakukan [efisiensi bisnis dan insentif], ya akan sangat sulit bagi kita untuk memiliki surplus perdagangan ke depannya. Saat ini saja sudah sulit dipertahankan, apalagi setelah realisasi komitmen peningkatan impor dari AS,” terangnya.
Sepanjang Januari—Juni 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tiga negara penyumbang surplus neraca dagang terbesar adalah AS sebesar US$8,57 miliar, India sebesar US$6,59 miliar, dan Filipina sebesar US$4,4 miliar.
Di sisi lain, tiga negara penyumbang defisit terdalam adalah China sebesar US$9,73 miliar, Singapura sebesar US$3,09 miliar, dan Australia US$2,66 miliar.