Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Peta Jalan Transisi Energi Dinilai Kurang Agresif Percepat Pensiun Dini PLTU

Beleid peta jalan transisi energi di sektor ketenagalistrikan dinilai kurang agresif mempercepat realisasi pensiun dini PLTU.
Ilustrasi PLTU Suralaya/Dok. PLN
Ilustrasi PLTU Suralaya/Dok. PLN

Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat menilai beleid peta jalan transisi energi di sektor ketenagalistrikan yang baru rilis pemerintah, kurang agresif mempercepat realisasi pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Adapun, peta jalan transisi energi tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan (Road Map) Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan.

Peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Muhamad Saleh menilai indikator penutupan PLTU lebih berorientasi pada keekonomian proyek atau akses pendanaan. Hal ini tergambar dalam Pasal 12 beleid tersebut. 

"Di sana dijelaskan penutupan PLTU akan dilakukan dalam hal terdapat pendanaan. Artinya, jika skema pendanaan tidak ada, maka tidak akan pernah dilakukan penutupan PLTU," kata Saleh kepada Bisnis, Rabu (23/4/2025).

Dalam beleid tersebut dijelaskan, pensiun dini akan menyasar pada PLTU yang memenuhi kriteria seperti kapasitas, usia pembangkit, utilisasi, dan emisi gas rumah kaca PLTU. 

Lalu, nilai tambah ekonomi, ketersediaan dukungan pendanaan dalam negeri dan luar negeri, serta ketersediaan dukungan teknologi dalam negeri dan luar negeri.

Sementara itu, kajian pensiun dini PLTU disusun dengan tiga ketentuan. Pertama, dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 6 bulan terhitung sejak penugasan dari menteri. 

Kedua, memuat paling sedikit aspek teknis, aspek hukum, aspek komersial, dan aspek keuangan termasuk sumber pendanaan, serta penerapan prinsip tata kelola yang baik dan prinsip business judgement rules. Ketiga, dapat memanfaatkan berbagai kajian dari lembaga independen sebagai referensi tambahan.

Menurut Saleh, masalah pendanaan diperparah karena Permen ESDM ini sama sekali tidak mengatur norma yang mewajibkan pemerintah untuk menyediakan skema pendanaan dalam beragam bentuk. 

"Kondisi ini membuat pemerintah cenderung pasif," kata Saleh.

Lebih lanjut, Saleh juga menilai proses penyusunan peta jalan transisi energi tidak melibatkan masyarakat sipil dan tak terbuka. Padahal, sejak 2022, dorongan untuk membentuk peta jalan sudah dilakukan oleh elemen masyarakat sipil. 

Namun, kata Saleh, sampai Permen ini disahkan pada 10 April 2025, tidak ada satupun elemen masyarakat sipil yang diajak untuk diskusi dan membahas. 

"Kementerian ESDM sangat tertutup bahkan untuk mendapat draf rancangan saja tidak dibukakan akses," ucapnya. 

72 PLTU Perlu Dipensiunkan

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengapresiasi langkah pemerintah dalam menerbitkan peta jalan transisi energi lewat Permen ESDM Nomor 10/2025.

Menurutnya, langkah ini mencerminkan komitmen transisi energi Indonesia yang sudah dinyatakan sejak 2021. Fabby juga menekankan bahwa regulasi ini membuka peluang percepatan pensiun PLTU dengan tetap mempertimbangkan keandalan sistem ketenagalistrikan, biaya listrik, serta prinsip transisi energi yang berkeadilan. 

"Proses menuju keputusan ini telah ditempuh sejak 2021 tetapi belum sepenuhnya mencapai akhir," ujar Fabby melalui keterangan resmi.

Berdasarkan kajian IESR, kata Fabby, untuk mendukung upaya mitigasi krisis iklim agar suhu bumi tidak melebihi 1,5°C, sebanyak 72 PLTU batu bara dengan total kapasitas 43,4 gigawatt (GW) perlu dipensiunkan pada periode 2022–2045. 

Adapun, pada periode 2025–2030, IESR merekomendasikan penghentian operasional terhadap 18 PLTU berkapasitas total 9,2 GW. Ini terdiri atas 8 PLTU milik PLN berkapasitas 5 GW dan 10 PLTU milik pembangkit swasta berkapasitas 4,2 GW. 

Menurut Fabby, kajian IESR ini juga telah mempertimbangkan faktor yang sesuai dengan pertimbangan yang tercantum dalam Permen Nomor 10/2025 dalam mempercepat pengakhiran operasional batu bara. Pertimbangan itu seperti usia dan kapasitas pembangkit, keekonomian proyek, serta dampak lingkungan, terutama keluaran emisi gas rumah kaca.

Dalam Permen tersebut, pemerintah juga sangat mempertimbangkan ketersediaan dukungan pendanaan dalam negeri dan luar negeri dalam mempercepat pengakhiran operasional PLTU batu bara. 

IESR memperkirakan biaya pensiun dini PLTU mencapai US$4,6 miliar hingga 2030 dan US$27,5 miliar hingga 2050. Sekitar dua pertiga atau US$18,3 miliar berasal dari PLTU milik swasta sementara sisanya atau US$9,2 miliar berasal dari PLTU milik PLN. 

Menurut Fabby, meski biaya awal pensiun PLTU tergolong besar, manfaat jangka panjangnya dari penurunan biaya kesehatan dan subsidi PLTU mencapai US$96 miliar pada 2050.

“Dukungan pendanaan untuk pensiun dini PLTU yang tidak efisien, mahal dan menyebabkan polusi udara akut milik PLN bisa berasal dari APBN," jelas Fabby.

Namun, menurut Fabby, dananya yang ditambah dengan penyertaan modal negara harus dipakai untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan dan penguatan jaringan listrik. 

"Ini serupa dengan memindahkan dana dari kantong kiri ke kanan," imbuhnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper