Bisnis.com, JAKARTA - Target pembentukan 80.000 koperasi desa sebelum 12 Juli 2025 mencerminkan pendekatan "big push" pemerintah dalam transformasi ekonomi pedesaan. Dengan anggaran Rp400 triliun yang bersumber dari APBN, APBD, APBDes, kredit bank, dan CSR, program Koperasi Desa Merah Putih menjadi salah satu intervensi ekonomi yang besar bagi perekonomian desa.
Gelontoran dana triliunan rupiah untuk pengembangan koperasi desa ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, program ini berpotensi menggerakkan ekonomi lokal dan menciptakan pusat pertumbuhan baru.
Di sisi lain, kesenjangan kapasitas sumber daya manusia antar desa menciptakan celah korupsi yang mengkhawatirkan. Meski dirancang untuk mewujudkan kemandirian pangan dan pemerataan ekonomi hingga akar rumput, inisiatif ini menghadapi tantangan struktural yang kompleks.
Keberlanjutan institusi koperasi menjadi pertaruhan utama ketika kecepatan pembentukan tidak diimbangi dengan penguatan kapasitas manajerial dan kompetensi pengelola di lapangan.
Pertanyaan kritis pun muncul, apakah percepatan pembentukan koperasi secara masif ini dilandasi oleh kesiapan institusional yang memadai? Keberlanjutan koperasi bukan sekadar ditentukan oleh ketersediaan dana, melainkan oleh legitimasi sosial dan kapasitas adaptif dalam merespon berbagai dinamika. Dalam perspektif ekonomi kelembagaan, transformasi institusi ekonomi yang berkelanjutan membutuhkan evolusi bertahap.
Pengalaman Koperasi Unit Desa (KUD) di masa lalu memberikan pelajaran berharga. Pendekatan top-down yang mengabaikan proses pembentukan institusi berbasis komunitas sering berakhir dengan kegagalan.
Baca Juga
Koperasi yang dikelola tanpa profesionalisme dan tidak berlandaskan kesadaran kolektif masyarakat cenderung mudah goyah akibat tata kelola buruk dan minimnya transparansi. Tanpa belajar dari sejarah ini, program Koperasi Desa Merah Putih berisiko mengulang pola kegagalan serupa.
Realitas di lapangan menunjukkan disparitas kapasitas SDM dalam pengelolaan keuangan, pemahaman model bisnis dan manajemen organisasi di berbagai desa. Tanpa pendampingan yang memadai, alokasi anggaran besar justru berisiko menciptakan bandar baru di tingkat lokal. Kelompok elit desa, dengan pengetahuan dan jaringan yang sudah lebih baik, berpeluang mengambil alih kendali koperasi untuk kepentingan pribadi atau dikenal sebagai "elite capture".
Yang lebih memprihatinkan lagi, jika modal sosial masyarakat tidak dibangun, koperasi dapat berubah menjadi sekadar alat legitimasi bagi struktur kekuasaan yang sudah mapan. Alih-alih menjadi instrumen pemberdayaan, koperasi malah mengukuhkan pola eksploitasi yang sudah berlangsung lama.
Kita membutuhkan pendekatan yang lebih kontekstual dan berjenjang dalam pengembangan koperasi desa. Penguatan kapasitas pengelolaan harus menjadi prasyarat sebelum dana besar-besaran. Digelontorkan. Lebih dari itu, diperlukan intervensi sosial yang mendorong partisipasi inklusif dan distribusi kekuasaan yang lebih merata dalam pengambilan keputusan koperasi.
Modal sosial, integritas dan kesadaran solidaritas di masyarakat berpotensi menjadi benteng terdepan melawan korupsi. Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa sektor desa menjadi ladang korupsi terbesar dalam beberapa tahun terakhir.
Pada 2016, terdapat 17 kasus korupsi di desa dengan potensi kerugian negara mencapai Rp40,1 miliar, melonjak signifikan pada 2022 dengan 155 kasus dan potensi kerugian mencapai Rp381 miliar. Tahun 2023 kasusnya kian bertambah menjadi 187 kasus. Faktor minimnya pengawasan, keterbatasan kapasitas perangkat desa, dan kurangnya partisipasi masyarakat menjadi pemicu utama terjadinya penyelewengan di desa.
Risiko lain yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah potensi peningkatan kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) dalam sistem perbankan nasional. Ketika koperasi gagal menghasilkan keuntungan, mereka akan kesulitan mengembalikan pinjaman. Bank yang mendanai program ini berpotensi menanggung beban NPL yang signifikan. Dampaknya akan tercipta dampak sistemik yang bisa mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Untuk mencegah Koperasi Desa Merah Putih menjadi "ladang korupsi baru" dan sumber NPL diperlukan strategi mitigasi yang komprehensif dan bertahap: Pertama, pendekatan bertahap (sequencing) dengan proyek percontohan di daerah-daerah dengan modal sosial yang kuat, kesiapan kelembagaan dan potensi ekonomi harus diutamakan.
Kedua, penguatan kapasitas SDM melalui pelatihan intensif dalam manajemen koperasi, pengembangan bisnis dan pemasaran. Dalam hal ini pemerintah dapat melatih para lulusan baru untuk terlibat menjadi pendamping desa dan juga melatih warga desa yang potensial untuk menjadi pengelola.
Ketiga, analisis kelayakan usaha yang ketat perlu dilakukan sebelum pembentukan koperasi untuk memastikan prospek keberlanjutan ekonomi. Koperasi harus dibangun dengan model bisnis yang jelas, terukur dan diversifikasi sumber pendapatan untuk mengurangi risiko kegagalan.
Keempat, sistem pengawasan multi-level, baik internal melalui Badan Permusyawaratan Desa maupun eksternal. Pemanfaatan teknologi digital seperti pelacakan real time penggunaan dana, digitalisasi proses pengadaan, dan mekanisme pelaporan pelanggaran (whistleblowing) perlu diimplementasikan sejak awal program.
Tentu kita mendukung upaya pemerataan ekonomi dan kemandirian pangan melalui penguatan ekonomi pedesaan. Namun program sebesar Koperasi Desa Merah Putih membutuhkan petunjuk teknis, kajian pemetaan, dan peta jalan pengembangan yang lengkap sebelum dijalankan. Membuat kapal sembari berlayar dimana implementasi dimulai sementara kebijakan masih disusun hanya akan mengulang pola lama yang menimbulkan inefisiensi, kebocoran anggaran, dan rendahnya efektivitas program.