Bisnis.com, JAKARTA — Filipina berencana melarang ekspor nikel mulai Juni 2025. Indonesia pun terancam tidak bisa lagi mengimpor mineral mentah tersebut dari Filipina.
Meski RI lebih dulu melarang ekspor nikel dan wajib mengolah di dalam negeri, faktanya Indonesia masih melakukan impor Nikel dari Filipina. Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS), impor nikel dari Filipina mencapai 110.950 ton atau senilai US$4,45 juta per Februari 2025.
Sementara itu, impor nikel dari Filipina sepanjang 2024 mencapai 10,18 juta ton atau senilai US$445,09 juta. Angka itu melonjak dibanding impor nikel Filipina pada 2023 yang hanya 374.453,9 ton atau senilai US$16 juta.
Secara total, impor nikel dari Filipina sepanjang 2023 hingga 2025 mencapai 10,66 juta ton atau senilai US$465,54 juta.
Adapun impor nikel dari Filipina itu didatangkan ke Kendari Sulawesi Tengah, Kolonodale Sulawesi Tengah, Makassar Sulawesi Selatan, dan Morowali Sulawesi Tengah.
Lalu, Samarinda Kalimantan Timur, Tanjung Emas Jawa Tengah, Tanjung Priok Jakarta, dan Weda Bay Maluku Utara. Meski belum pasti, pemerintah Filipina saat ini tengah meratifikasi rancangan undang-undang (RUU) larangan ekspor nikel tersebut.
Baca Juga
Filipina merupakan pemasok bijih nikel terbesar kedua di dunia dengan sebagian besar pengirimannya ditujukan ke pasar utama China. Pemerintah negara itu telah mendorong para penambang untuk berinvestasi dalam fasilitas pemrosesan alih-alih hanya mengirimkan bijih mentah.
Upaya ini diharapkan meniru keberhasilan pemasok nikel nomor satu, yakni Indonesia dalam meningkatkan pendapatan pertambangan.
Larangan ekspor bijih nikel oleh Indonesia pada 2020, mendorong nilai ekspor nikelnya dari US$3 miliar menjadi US$30 miliar dalam 2 tahun. Hal ini terjadi karena perusahaan-perusahaan China membangun smelter di Indonesia.
Menurut Presiden Senat Filipina Francis Escudero mengatakan, Filipina dapat mengikuti jejak Indonesia, sebagai contoh negara kaya sumber daya yang mendorong nilai lebih dari mineralnya.
“Dari segi mineral, Filipina adalah negara kaya yang berpura-pura miskin,” katanya beberapa waktu lalu.
Dampak Bagi Indonesia
Pengamat pun mengingatkan kebijakan pelarangan ekspor nikel Filipina, sedikit banyak akan berdampak bagi Indonesia.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) Bisman Bhaktiar mengatakan, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengimpor nikel dari Filipina. Sebab, beberapa jenis smelter di Indonesia perlu suplai sesuai dengan jenis nikel dari Filipina.
"Sehingga jika Filipina setop ekspor maka berdampak beberapa smelter Indonesia akan tidak mendapat pasokan lagi dari Filipina. Tentunya ini potensi masalah, untuk itu perlu mencari alternatif pasokan dari negara lain," kata Bisman kepada Bisnis, Minggu (11/5/2025).
Namun, kata dia, di sisi lain kebijakan Filipina itu bisa menjadi peluang bagi Indonesia. Menurut Bisman, larangan itu akan menjadikan posisi Indonesia semakin kuat sebagai pemasok utama produk nikel olahan.
Bisman menyebut, Indonesia sudah lebih dulu melarang ekspor bijih nikel dan mendorong pembangunan smelter. Oleh karena itu, Indonesia akan lebih unggul dalam hilirisasi dibanding Filipina.
Selain itu, Bisman mengatakan bahwa dengan berhentinya ekspor nikel mentah oleh Filipina, maka berpotensi adanya peralihan kebutuhan ke nikel olahan. Buntutnya, harga nikel berpotensi naik.
"Jadi ini akan berpengaruh pada harga nikel karena jika Filipina setop ekspor, maka suplai nikel secara global berkurang sehingga harga potensial naik karena volume produksi nikel Filipina cukup signifikan," ucap Bisman.
Dia lantas mengingatkan agar pemerintah Indonesia segera mempercepat hilirisasi nikel. Ini khususnya untuk membangun ekosistem industri berbasis nikel.
"Jika tidak, akan disalip oleh Filipina," kata Bisman mengingatkan.
Sementara itu, bagi pelaku usaha smelter yang masih harus impor nikel dari Filipina, perlu segera mencari alternatif pasokan lain. Namun, akan jauh lebih baik jika bisa dipasok dari dalam negeri.