Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan penghiliran nikel yang selama ini diposisikan sebagai fondasi transformasi ekonomi nasional kini menghadapi tantangan serius. Tutupnya sejumlah smelter, anjloknya harga nikel global, serta ketergantungan pada satu pasar dan satu jenis teknologi, menandai bahwa strategi penghiliran perlu ditinjau ulang secara menyeluruh.
Data terbaru menunjukkan setidaknya 28 jalur produksi smelter nikel dengan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) telah menghentikan operasi hingga pertengahan 2025. Sebagian besar smelter ini tidak lagi mampu beroperasi secara ekonomis karena harga nikel kadar menengah (MC 30%) di pasar domestik berkisar US$33—US$34 per wet metric ton (WMT), jauh dibawah ongkos produksi (Media Nikel Indonesia, 17/6).
Bahkan, dalam laporan khusus media ini, kondisi industri penghiliran nikel Indonesia disebut “terancam mandek” akibat tekanan berlapis, mulai dari rendahnya harga global, kebijakan anti-dumping China, hingga rendahnya permintaan bahan mentah dari dalam negeri (Bisnis Indonesia, 30/7). Sinyal krisis ini tidak bisa diabaikan begitu saja.
Salah satu akar persoalan adalah ketergantungan yang terlalu besar pada satu pasar—yakni China. Sekitar 90% ekspor produk hilir nikel Indonesia masih bergantung pada pasar China, khususnya untuk produk feronikel dan nickel pig iron (NPI). Ketika pasar tersebut terganggu oleh penurunan permintaan atau kebijakan antidumping, industri nikel Indonesia langsung terpukul.
Ketergantungan tunggal ini tidak hanya menciptakan risiko eksternal, tetapi juga memperlihatkan lemahnya strategi diversifikasi pasar. Sementara negara-negara, seperti Filipina atau Australia mulai memperluas mitra ekspor mereka ke Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS), Indonesia justru belum mengembangkan strategi penghiliran berbasis pasar alternatif.
Selain itu, penggunaan teknologi RKEF yang mendominasi smelter di Indonesia kian mempersempit opsi. Teknologi ini hanya efektif untuk nikel saprolit dan menghasilkan produk bernilai tambah rendah, yang tidak kompatibel dengan kebutuhan global akan nikel kadar tinggi untuk baterai kendaraan listrik.
Baca Juga
Padahal tren dunia justru bergerak cepat ke arah elektrifikasi transportasi dan energi bersih. Jika Indonesia terus bertahan dalam model penghiliran ini, kita akan kehilangan momentum untuk menjadi pemain utama dalam rantai nilai industri baterai global.
Kondisi pasar nikel saat ini juga memperlihatkan anomali. Dalam situasi normal, pelaku industri cenderung menolak intervensi negara. Namun, kini desakan agar pemerintah mengatur ulang volume produksi nikel justru datang dari asosiasi pengusaha sendiri (Bisnis Indonesia, 1/8). Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme pasar telah gagal menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan.
Tanpa regulasi pasokan, koordinasi lintas sektor, dan sistem pengendalian harga, industri nikel nasional berisiko mengalami race to the bottom. Sebuah kondisi persaingan tanpa batas antarprodusen yang justru merusak nilai tambah dan mempercepat keruntuhan ekosistem industri dengan mengorbankan kepentingan pekerja, lingkungan, dan pajak.
LANGKAH PEMBARUAN
Permintaan pelaku industri agar negara mengambil peran dalam kontrol produksi bukanlah bentuk mundur dari liberalisasi, tetapi refleksi atas absennya institusi stabilisasi harga dan tata kelola pasokan dalam kebijakan penghiliran selama ini. Kondisi saat ini membuka peluang untuk melakukan reorientasi penghiliran nasional. Setidaknya ada empat agenda pembaruan yang bisa ditempuh.
Pertama, pembentukan otoritas penghiliran nasional. Pemerintah perlu membentuk lembaga lintas sektor yang mengintegrasikan kebijakan produksi, teknologi, perizinan, dan pasar. Tanpa badan otoritatif, arah penghiliran akan terus sektoral dan terfragmentasi.
Kedua, diversifikasi teknologi dan pasar harus dipercepat. Investasi High Pressure Acid Leaching (HPAL) perlu ditingkatkan, dan ekspor diarahkan ke negara-negara seperti UE, India, AS, dan Korea Selatan dalam kerangka strategic partnership berbasis pasokan mineral kritis. Indonesia tak sekadar eksportir bahan mentah, tetapi mitra strategis transisi energi global. Diplomasi mineral harus mendorong alih teknologi, pendanaan penghiliran, dan akses pasar yang lebih adil.
Ketiga, integrasi rantai nilai dalam negeri. Smelter tidak boleh berdiri sendiri tanpa keterhubungan dengan industri hulu dan hilir di dalam negeri. Rantai nilai nikel harus diarahkan untuk mendorong pengembangan baterai listrik, kendaraan listrik, dan penyimpanan energi.
Keempat, perlindungan sosial dan keberlanjutan. Kebijakan penghiliran harus berpihak pada pekerja tambang, masyarakat lokal, dan lingkungan hidup. Standar industri hijau dan mekanisme kompensasi lingkungan harus menjadi syarat bagi setiap investasi hilir dalam mengedepankan “environmental conditionalities”.
Penghiliran nikel tidak boleh berhenti sebagai proyek fisik atau jargon politik. Ia harus diangkat menjadi strategi bangsa yang menyeluruh guna mengintegrasikan visi ekonomi, teknologi, sosial, dan lingkungan. Dengan lebih dari 21 juta ton cadangan nikel laterit terbesar di dunia, Indonesia memiliki peluang untuk menjadi sentra industri kendaraan listrik global.
Potensi ini hanya bisa tercapai dengan penghiliran berdaulat, penguasaan teknologi, akses pasar global, dan ekosistem industri yang kuat. Krisis harga dan penutupan smelter adalah alarm untuk koreksi kebijakan. Kedaulatan ekonomi bukan sekadar stop ekspor mentah, tetapi soal siapa yang menguasai rantai nilai dan memberi manfaat berkelanjutan bagi bangsa.