Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Bakhrul Fikri

Peneliti Ekonomi di Center of Economic and Law Studies (Celios)

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Koperasi Desa atau Koperasi Komando?

Program KDMP juga akan menjadi beban keuangan baru bagi Himbara maupun fiskal pemerintah.
Warga berada di Klinik dan Apotek Desa Koperasi Merah Putih Desa Cangkuang Wetan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (20/5/2025). Bisnis/Rachman
Warga berada di Klinik dan Apotek Desa Koperasi Merah Putih Desa Cangkuang Wetan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (20/5/2025). Bisnis/Rachman

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah me­­­lun­­­curkan prog­­ram baru yaitu koperasi desa me­­­rah putih (KDMP) melalui Inpres No. 9/2025. Tak tang­­­gung-tanggung, pada awalnya proyek ambisius ini ditaksir menelan anggaran hingga Rp400 triliun, dengan perincian anggaran mencapai Rp4 miliar—Rp5 miliar per koperasi di 80.000 desa.

Di dalam Inpres yang sama juga terdapat instruksi khusus ke­­­pada Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) untuk me­­­lak­­­sanakan program MBG (Makan Bergizi Gratis) me­­­­lalui KDMP. Ini justru akan makin memperumit implementasi MBG.

Model desentralistik me­­mang dapat melibatkan ko­­­perasi sebagai mitra pelaksana MBG. Namun, koperasi yang sifatnya top down mirip model koperasi komando yang justru tidak sesuai de­­­ngan beberapa prinsip krusial dalam koperasi.

Koperasi harus tetap mengutamakan prinsipnya, di mana keanggotaan harus bersifat sukarela dan terbuka, manajemen organisasi dilakukan oleh anggota secara demokratis, dan yang terpenting anggota memberikan kontribusi modal secara adil. Sehingga koperasi dapat menjadi aktor otonom yang diberdayakan dengan fleksibilitas untuk merancang, mengelola, dan mengevaluasi MBG sesuai konteks lokal. Sejarah selalu membuktikan koperasi yang diinisiasi negara berakhir dengan kegagalan.

Program KDMP juga akan menjadi beban keuangan baru bagi Himbara maupun fiskal pemerintah. Bagaimana tidak? Pembentukan KDMP akan menggunakan skema pembiayaan dengan mekanisme pinjaman (kredit) dari Himbara dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai jaminan.

Lebih spesifik, pemerintah akan menggunakan anggaran dana desa untuk mencicil pinjaman tersebut kepada Himbara.

Namun, sepertinya negosiasi terkait skema pinjaman dengan Himbara tidak berjalan mulus. Karena plafon kredit yang sebelumnya ditentukan Rp4 miliar—Rp5 miliar dengan tenor 10 tahun, direvisi menjadi Rp3 miliar dengan tenor 6 tahun. Artinya selama 6 tahun ke depan jumlah dana yang diterima oleh desa dari pemerintah pusat akan dipotong untuk membayar cicilan pembentukan koperasi desa merah putih.

Tetapi berapa pun besaran plafon kreditnya tetap akan berpotensi menjerat desa dalam beban utang jangka panjang. Bagaimana tidak? Dalam APBN 2025 hanya sedikit jumlah desa yang menerima alokasi dana Rp2 miliar, bahkan mayoritas kurang dari Rp1 miliar.

Apabila dalam jangka panjang kinerja keuangan koperasi desa merah putih bermasalah, maka desa akan menjadi pihak yang mengalami kerugian ganda. Kerugian pertama adalah dana desa tetap akan dipotong untuk melunasi cicilan KDMP yang sudah terbentuk. Kedua, rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes) akan terhambat karena kekurangan modal.

Selain itu, kegagalan program KDMP juga akan mengancam likuiditas Himbara. Lonjakan non performing loan (NPL) atau kredit macet yang pasti terjadi akan berimplikasi kepada sektor produktif lainnya.

Padahal lesunya kondisi ekonomi hari ini sudah memiliki implikasi negatif terhadap rasio NPL perbankan. Data otoritas jasa keuangan (OJK) menunjukkan rasio NPL perbankan meningkat pada Februari 2025 sebesar 2,22% dibandingkan Januari 2025 yang berada di level 2,18%.

Sementara, menurut data Bank Indonesia, tren pertumbuhan penyaluran kredit ke koperasi justru mengalami penurunan secara tahunan dari 16,3% sejak Juli 2023 menjadi hanya 4,1% pada Maret 2025. Ini juga diperkuat dengan data PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) yang mengungkapkan bahwa rasio NPL koperasi yang mencapai 8,5% lebih tinggi dari sektor perbankan secara keseluruhan. Mengindikasikan bahwa kinerja sektor koperasi semakin tergerus dan tidak mengalami perbaikan. Juga dapat diartikan perbankan tidak melihat bahwa entitas koperasi layak mendapatkan support pembiayaan atau bisa dikatakan tidak bankable.

Tingginya NPL juga akan membuat kepercayaan investor dan nasabah menurun. Alhasil bank harus menaikkan provisioning (pencadangan kerugian) dan otomatis menekan laba dan daya ekspansi kredit ke sektor lain.

Sejalan dengan teori Mishkin, kelancaran fungsi intermediasi perbankan sangat menentukan stabilitas ekonomi, jika ini terganggu maka akan menghambat pertumbuhan UMKM, investasi, dan penciptaan lapangan pekerjaan. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menekan konsumsi dan pertumbuhan ekonomi.

Alih-alih berfungsi sebagai stimulus fiskal, program KDMP justru akan menjadi faktor pro-siklikal yang memperburuk tekanan ekonomi Indonesia. Ketidaksiapan kelembagaan KDMP juga akan memperbesar risiko inefisiensi dan moral hazard.

Dalam jangka menengah, kerentanan ini dapat membuat ruang fiskal makin terdistorsi. Padahal kondisi ruang fiskal sudah cukup mengkhawatirkan dengan defisit APBN pada kuartal I 2025 yang mencapai Rp104,2 triliun atau 0,43% terhadap PDB.

Dibandingkan kuartal I/2024 yang dapat mencatatkan surplus walaupun tipis sebesar Rp8,07 triliun atau 0,04% terhadap PDB, jelas ruang fiskal tahun 2025 makin sempit. Namun, pemerintah justru memaksakan program KDMP, yang mana belum terbukti memiliki daya ungkit bagi penerimaan APBN. Dalam skenario terburuk baik jangka menengah maupun panjang, tentu ini akan menjadi risiko fiskal baru yang membuat perekonomian semakin melemah.

LEBIH REALISTIS

Sebagai alternatif, pembuatan program yang menyasar desa harusnya lebih realistis dan benar-benar menyentuh kebutuhan ekonomi rakyat, bukan proyek ambisius dengan beban utang jangka panjang.

Seharusnya pemerintah menggunakan pendekatan yang lebih tepat dengan memperkuat koperasi yang sudah berjalan secara organik di tingkat desa melalui dukungan modal bergulir berbasis hibah, pelatihan manajemen usaha, dan penjaminan akses pasar yang lebih luas.

Selain itu, tidak seharusnya alokasi dana desa digunakan untuk mendanai program pemerintah pusat. Sebaliknya, dana desa seharusnya tetap difokuskan untuk membiayai program dengan orientasi pada kebutuhan riil masyarakat desa yang sudah ditentukan oleh masyarakat desa dalam RPJMDes.

Pemerintah pusat cukup berperan sebagai fasilitator saja, bukan sebagai pengendali penuh atas penggunaan dana tersebut. Penyertaan modal yang lebih besar melalui skema BUMDes lebih tepat dibanding Koperasi Desa Merah Putih.

Alasannya sangat jelas, dominasi pemerintah pusat justru akan mematikan potensi desa dan bertentangan dengan UU No. 6/2014 Tentang Otonomi Desa.

Justru dengan memberikan ruang otonomi yang lebih besar kepada desa dalam merancang program berdasarkan potensi dan kebutuhan riil masyarakatnya, pembangunan akan lebih merata dan berkelanjutan. Pendekatan ini juga lebih sesuai dengan semangat desentralisasi fiskal dan prinsip subsidiaritas, di mana pengambilan keputusan dilakukan sedekat mungkin dengan masyarakat di pedesaan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Bakhrul Fikri
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper