Bisnis.com, JAKARTA — Sarikat Penyelenggaraan Haji Umroh Indonesia (Sapuhi) menyatakan jemaah haji furoda akan mendapatkan pengembalian dana secara penuh (refund full) atau dikonversi ke haji khusus imbas visa yang tidak terbit tahun ini.
Ketua Umum Sapuhi Syam Resfiadi mengatakan bahwa para jemaah haji furoda yang batal berangkat di tahun ini harus menerima situasi ini karena penerbitan visa merupakan hak Kerajaan Arab Saudi, sehingga para jemaah termasuk travel harus menanggung segala semacam risiko.
“Ada tiga cara untuk bisa memberikan konsekuensi kepada jemaah yang tidak berangkat haji mujamalah atau furoda tahun ini, yaitu adalah di-refund full atau dikonversi ke haji khusus, atau dikombinasikan [dengan] sebagian disetorkan [atau] sebagian dipulangkan,” kata Syam kepada Bisnis, Sabtu (31/5/2025).
Syam berujar pelaksanaan haji tahun ini yang menggunakan visa furoda baru mendapatkan informasi dari Kerajaan Arab Saudi di akhir Dzulhijjah 1446 Hijirah. Ditambah, lanjut dia, tidak ada informasi mengenai pembagian kuota visa furoda dari Kerajaan Arab Saudi.
“Memang tahun ini furoda mengalami musibah karena ketidakjelasan berapa yang ingin diberikan jumlahnya per negara, baru didapat informasi saat-saat terakhir di bulan Dzulhijjah ini,” imbuhnya.
Kendati demikian, Syam menyampaikan bahwa asosiasi memberikan surat keterangan dan informasi terkait kondisi visa mujamalah dan visa furoda kepada anggota untuk bisa disampaikan dan dilanjutkan ke para jemaah.
Baca Juga
Adapun imbas visa furoda yang tak terbit tahun ini, jelasnya, kerugian dari penyelenggara travel haji tidak bisa disamaratakan. Artinya, kerugian ini tergantung dari sudah sejauh mana proses kesiapan dari paket yang sudah ditawarkan kepada para jemaah, salah satunya dengan memesan penginapan alias akomodasi.
“Ada yang sudah punya hotel, ada yang sudah punya tiket, bahkan semua all-in sudah disiapkan, namun karena tidak dapat ya pasti jumlahnya lebih besar [kerugiannya]. Namun ada juga yang belum memberikan apa-apa karena menunggu keluarnya visa dulu, baru mereka action cari hotel dan tiket,” terangnya.
Untuk itu, dia menjelaskan bahwa ada berbagai macam konsekuensi jumlah kerugian yang diderita oleh para travel imbas tak terbitnya visa furoda tahun ini.
“Yang jadi masalah adalah bagaimana caranya kita sebagai travel memberi informasi atau keterangan agar kerugian ini bisa ditanggung bersama atau bagaimana,” terangnya.
Meski demikian, Syam mengaku berat hati menyampaikan informasi bahwa visa furoda tidak terbit tahun ini. “Ini memang kesalahan bukan di pihak jemaah yang ingin membatalkan diri, tetapi memang akibat dari visa tidak keluar,” tuturnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Singgih Januratmoko menuturkan bahwa ada opsi penyelesaian antara pihak jemaah dengan penyelenggara travel haji jika terjadi kegagalan keberangkatan jemaah haji furoda akibat visa yang tidak terbit.
Opsi tersebut di antaranya dapat berupa pengembalian dana atau pengalihan keberangkatan ke musim haji tahun berikutnya. Namun dia menekankan, kepastian dan keadilan bagi jemaah tetap harus dikedepankan.
“Apakah itu uang dikembalikan, atau digunakan untuk haji tahun depan. Yang penting tidak ada yang dirugikan,” kata Singgih dalam keterangan tertulis, dikutip pada Sabtu (31/5/2025).
Di samping itu, Singgih juga menjelaskan bahwa secara hukum, visa furoda belum memiliki dasar yang kuat dalam regulasi haji nasional.
Menurutnya, pemerintah sering dianggap tidak hadir dalam menangani persoalan visa non-kuota, seperti furoda karena belum adanya pijakan hukum yang memadai.
“Oleh sebab itu, saat ini dalam revisi Undang-Undang Haji, kami mengusulkan adanya pengaturan tiga jenis visa, visa kuota yang meliputi haji reguler dan haji plus, visa dari kuota negara lain dan visa non-kuota, termasuk visa mujamalah dan furoda,” tuturnya.
Lebih lanjut, Singgih menyampaikan bahwa DPR akan mendorong agar ke depan ada pengakuan hukum dan perlindungan yang jelas terhadap jemaah pemegang visa non-kuota agar kejadian serupa tidak terus berulang.
“Kalau sekarang pemerintah seolah-olah tidak hadir karena belum ada dasar hukum untuk perlindungan. Padahal relasinya ini antara pemerintah Arab Saudi dengan pihak syarikah, dan jemaah dengan travel di Indonesia,” katanya.