Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bank Dunia Naikkan Standar Garis Kemiskinan Mulai Juni 2025

Bank Dunia menaikkan standar garis kemiskinannya per Juni 2025, usai resmi mengadopsi perhitungan purchasing power parity 2021.
Logo Bank Dunia di kantor pusat World Bank Group, Washington DC, Amerika Serikat pada Kamis (13/4/2023). / Bloomberg-Samuel Corum
Logo Bank Dunia di kantor pusat World Bank Group, Washington DC, Amerika Serikat pada Kamis (13/4/2023). / Bloomberg-Samuel Corum

Bisnis.com, JAKARTA — World Bank alias Bank Dunia menaikkan standar garis kemiskinannya per Juni 2025, usai resmi mengadopsi perhitungan purchasing power parity 2021. Sebelumnya, Bank Dunia masih menggunakan perhitungan purchasing power parity 2017.

Kenaikan garis kemiskinan tersebut tercantum dalam laporan terbaru Bank Dunia bertajuk June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform.

Akibatnya, kini garis kemiskinan internasional menjadi US$3.00 per orang per hari (dari sebelumnya US$2,15); garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah bawah menjadi US$4,20 per orang per hari (dari US$3,65); garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah atas menjadi US$8,30 per orang per hari (dari US$6,85).

"Peralihan dari PPP [purchasing power parity] 2017 ke PPP 2021 dapat berimplikasi penting terhadap tingkat kemiskinan global, regional, dan negara," tulis Bank Dunia dalam laporannya, dikutip Senin (9/6/2025).

Bank Dunia mencatat pengadopsian perhitungan PPP 2021 mengakibatkan kemiskinan internasional naik sekitar 40%. Sementara itu, kemiskinan di negara berpenghasilan menengah atas meningkat hingga 20%.

Adapun, Bank Dunia memakai perhitungan PPP dalam mengukur garis kenaikan karena PPP merupakan pengukuran perbandingan biaya yang dibutuhkan untuk membeli suatu barang atau jasa di satu negara dengan di Amerika Serikat. Misalnya, US$1 di New York tentu memiliki daya beli yang berbeda dengan US$1 di Jakarta.

PPP memungkinkan perhitungan keterbandingan tingkat kemiskinan antarnegara yang memiliki tingkat biaya hidup yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, nilai PPP berbeda untuk setiap negara.

Bagaimana di Indonesia?

Perubahan garis kemiskinan itu pun memengaruhi persentase penduduk miskin Indonesia versi Bank Dunia yang sudah dikategorikan negara berpenghasilan menengah atas.

Sebelumnya dalam laporan Poverty & Equity Brief edisi April 2025, Bank Dunia mencatat persentase penduduk miskin di Indonesia mencapai 60,3% dari total populasi pada 2024. Hanya saja, persentase tersebut didapatkan dengan perhitungan PPP 2017 yang mana garis kemiskinan negara berpendapatan menengah atas masih sebesar US$6,85 per orang per hari.

Kini berdasarkan data Poverty and Inequality Platform Bank Dunia, jika menggunakan perhitungan PPP 2021 yang mana garis kemiskinan negara berpendapatan menengah atas sebesar US$8,30 maka persentase penduduk miskin di Indonesia melonjak ke 68% dari total populasi pada 2024.

Adapun jumlah penduduk Indonesia sebanyak 285,1 juta berdasarkan Susenas 2024 Badan Pusat Statistik (BPS). Dengan demikian berdasarkan standar Bank Dunia, 68% penduduk miskin Indonesia setara dengan 193,8 juta orang.

BPS sendiri tidak menggunakan standar kemiskinan Bank Dunia dalam mencatat garis kemiskinan nasional. Oleh sebab itu, jumlah penduduk miskin versi BPS jauh lebih rendah daripada versi Bank Dunia yaitu 'hanya' sebesar 24,06 juta orang atau setara 8,57% dari total populasi per September 2024.

Beberapa waktu lalu, Bisnis berkesempatan menerima penjelasan langsung dari Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dan jajarannya mengenai alasan perbedaan standar tersebut.

BPS menjelaskan bahwa Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah atas berdasarkan median atau nilai tengah dari garis kemiskinan nasional 37 negara berpendapatan menengah atas.

Oleh sebab itu, BPS menyatakan garis kemiskinan Bank Dunia lebih cocok digunakan sebagai perbandingan antarnegara bukan untuk mengukur kebutuhan dasar masyarakat Indonesia. BPS pun merancang sendiri garis kemiskinan nasional yang dirasa cocok untuk mengukur standar hidup masyarakat Indonesia

Dalam menghitung kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar tersebut dibagi menjadi dua kategori: komoditi makanan dan komoditi bukan makanan.

Untuk makanan, BPS memakai standar kebutuhan gizi versi Kementerian Kesehatan yaitu minimum 2.100 kilokalori (kkal) per kapita per hari. BPS pun menggunakan 52 jenis komoditi makanan untuk menentukan kebutuhan 2.100 kkal tersebut seperti beras, kue basah, hingga rokok kretek filter.

Untuk bukan makanan, BPS menggunakan 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan yang dirasa diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti perumahan, listrik, hingga pajak kendaraan motor.

BPS pun mengkalkulasi garis kemiskinan sesuai nilai pengeluaran masyarakat untuk membeli komoditi-komoditi makanan dan bukan makanan tersebut. Kalkulasi garis kemiskinan tersebut dilakukan lewat Susenas yang diadakan dua kali dalam setahun yaitu pada Maret dan September.

Hasilnya, berdasarkan Susenas September 2024, didapati ambang batas garis kemiskinan nasional senilai Rp595.243 per orang per bulan atau sekitar Rp19.841 per orang per hari.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper