Bisnis.com, JAKARTA — Belakangan muncul banyak perbincangan terkait standar garis kemiskinan di Indonesia. Pemicunya, ada perbedaan besar standar garis kemiskinan internasional versi Bank Dunia dengan garis kemiskinan nasional versi BPS.
Dalam publikasi bertajuk The World Bank’s Updated Global Poverty Lines: Indonesia, Bank Dunia pun buka suara terkait terkait polemik tersebut.
Bank Dunia menyatakan bahwa tujuan penggunaan garis kemiskinan internasional berbeda dengan garis kemiskinan nasional. Garis kemiskinan internasional digunakan untuk perbandingan antarnegara; sementara garis kemiskinan nasional digunakan untuk menerapkan kebijakan di tingkat nasional, seperti program perlindungan sosial kepada kaum miskin.
"Untuk pertanyaan tentang kebijakan nasional di Indonesia, garis kemiskinan nasional dan statistik kemiskinan yang diterbitkan oleh BPS adalah yang paling tepat. Garis kemiskinan internasional yang diterbitkan oleh Bank Dunia sesuai untuk ... membandingkan Indonesia dengan negara lain," jelas Bank Dunia, dikutip Sabtu (14/6/2025).
Adapun, Bank Dunia memakai tiga kategori garis kemiskinan yaitu garis kemiskinan ekstrem/negara berpendapatan rendah, garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah, dan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas.
Garis kemiskinan International tersebut dihitung berdasarkan median atau nilai tengah garis kemiskinan nasional masing-masing negara di tiga kategori tersebut, yang kemudian dikonversi ke perhitungan paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) 2021.
Baca Juga
PPP merupakan pengukuran perbandingan biaya yang dibutuhkan untuk membeli suatu barang/jasa antarnegara. Misalnya, US$1 di New York tentu memiliki daya beli yang berbeda dengan US$1 di Jakarta.
PPP memungkinkan perhitungan keterbandingan tingkat kemiskinan antarnegara yang memiliki tingkat biaya hidup yang berbeda-beda. Untuk Indonesia, Bank Dunia mencatat US$1 PPP 2021 setara sekitar Rp6.071.
Hasilnya, Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan negara berpendapatan rendah sebesar US$3 per orang per hari (sekitar Rp546.400 per orang per bulan), garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah US$4,2 per orang per hari (sekitar Rp765.000 per orang per bulan), dan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas US$8,3 per orang per hari (Rp1.512.000 per orang per bulan).
"Menurut garis kemiskinan ekstrem internasional yang baru, 5,4% penduduk Indonesia miskin pada 2024, 19,9% miskin menurut garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah, dan 68,3% miskin menurut garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas," tulis Bank Dunia.
Bank Dunia telah mengategorikan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah-atas sejak 2023. Hanya saja, lembaga internasional tersebut menggarisbawahi bahwa pendapatan per kapita Indonesia masih berada di kisaran batas bawah negara-negara pendapatan menengah atas.
Contohnya dalam kategori negara pendapatan menengah-atas, ada negara yang pendapatan perkapitanya hingga US$14.005. Angka tersebut hampir tiga kali lipat dari pendapatan per kapita Indonesia yang baru sebesar US$4.810 pada 2023.
"Statistik kemiskinan untuk ketiga garis kemiskinan internasional relevan bagi Indonesia, tetapi karena negara ini baru saja menjadi negara berpendapatan menengah-atas, perhatian khusus diberikan kepada garis kemiskinan berpendapatan menengah-bawah dan menengah-atas," jelas Bank Dunia.
Berbeda dengan BPS
Masalahnya, banyak yang membandingkan garis kemiskinan internasional versi Bank Dunia itu dengan garis kemiskinan nasional versi BPS.
Berdasarkan Susenas September 2024, BPS mencatat ambang batas garis kemiskinan nasional senilai Rp595.243 per orang per bulan. Angka tersebut hampir setara dengan standar garis kemiskinan internasional untuk negara berpenghasilan rendah versi Bank Dunia yaitu Rp546.400 per orang per bulan.
Padahal, Bank Dunia menggarisbawahi bahwa keadaan di Indonesia lebih mencerminkan standar garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah (Rp765.000 per orang per bulan) dan menengah-atas (Rp1.512.000 per orang per bulan).
Tak heran apabila jumlah penduduk miskin Indonesia versi BPS berbeda cukup jauh dengan versi Bank Dunia.
BPS mencatat penduduk miskin Indonesia 'hanya' 24,06 juta orang atau setara 8,57% dari total populasi. Sementara Bank Dunia mencatat penduduk miskin Indonesia mencapai 19,9% berdasarkan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-bawah atau 68,3% berdasarkan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas.
Sebagai gambaran, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar dalam menghitung garis kemiskinan nasional. Kebutuhan dasar tersebut dibagi menjadi dua kategori, yakni komoditas makanan dan komoditas bukan makanan.
Untuk makanan, BPS memakai standar kebutuhan gizi versi Kementerian Kesehatan yaitu minimum 2.100 kilokalori (kkal) per kapita per hari. BPS pun menggunakan 52 jenis komoditas makanan untuk menentukan kebutuhan 2.100 kkal tersebut seperti beras, kue basah, hingga rokok kretek filter.
Sementara itu, untuk bukan makanan, BPS menggunakan 51 jenis komoditas di perkotaan dan 47 jenis komoditas di pedesaan yang dirasa diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti perumahan, listrik, hingga pajak kendaraan motor.
BPS pun mengalkulasi garis kemiskinan sesuai dengan nilai pengeluaran masyarakat untuk membeli komoditas makanan dan bukan makanan tersebut. Kalkulasi garis kemiskinan tersebut dilakukan lewat Susenas yang diadakan dua kali dalam setahun yaitu pada Maret dan September.