Bisnis.com, JEDDAH — Gagasan untuk membangun kampung haji Indonesia di Arab Saudi bukanlah barang baru. Ide ini sudah muncul setidaknya sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di bawah Menteri Agama Maftuh Basyuni. Presiden Prabowo Subianto mengembalikan gagasan tersebut ke permukaan dan menjanjikan akan mengantongi lampu hijau dari pihak Kerajaan Arab Saudi dalam waktu dekat.
Itulah mengapa rombongan Amirulhajj alias pemimpin Misi Haji Indonesia di Arab Saudi pada musim haji tahun ini, diamanatkan misi untuk membangun dialog menuju realisasi gagasan tersebut.
Dilihat dari urgensinya, Indonesia sebagai pengirim jemaah haji dan umrah terbanyak setiap tahunnya memang perlu memiliki poros-poros ekonomi untuk mengembalikan sebagian keuntungan dari penyelenggaraan ibadah haji dan umrah ke dalam negeri. Kampung haji Indonesia di Makkah juga digadang-gadang bisa menurunkan biaya haji yang ditanggung jemaah secara lebih signifikan. Namun, gagasan ini tentu bukan tanpa aral melintang.
Penasihat Khusus Presiden Bidang Haji sekaligus anggota Amirulhajj tahun ini, Muhadjir Effendi, mengatakan Prabowo diperkirakan akan bertemu dengan Putra Mahkota Muhammad bin Salman (MBS) pada awal Juli 2025 dengan misi utama pembicaraan mengenai kampung haji. Selama ikut mengawasi penyelenggaraan ibadah haji, Muhadjir juga mengaku telah bertemu dengan investor yang berminat membangun kampung haji.
Baca Juga : Gerilya Pulangkan Rupiah dari Tanah Suci |
---|
"Kalau investor sudah banyak, mungkin lebih dari tiga, bahkan lebih. Cuma kami harus hati-hati karena skema yang kami tawarkan itu G2G [government-to-government], tidak antara negara dengan pebisnis. Karena kami harapkan ini akan perkuat kerja sama, bukan hanya haji tapi bidang-bidang lebih luas kalau kita memiliki kampung haji ini," ujar Muhadjir ditemui sebelum kepulangannya ke Tanah Air di Bandara Jeddah, baru-baru ini.
Dia juga mengatakan pemerintah sebenarnya telah menyiapkan skenario pendanaan kampung haji, baik melalui Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) maupun Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).
Menurutnya, bukan hal yang terlarang untuk memanfaatkan momentum haji sebagai penggerak ekonomi, terutama di antara negara-negara berpenduduk muslim, untuk membangun ekosistem ekonomi Islam secara global.
"Saya kira akan menjadi game changer, pembeda sistem ekonomi global kalau haji ini bisa kita kapitalisasi jadi pusat transaksi internasional tahunan, konversi bisnis tahunan dari negara-negara Islam," katanya.
Sejumlah tantangan
Sementara itu, posisi sebagai pengirim jemaah haji terbesar, ditengarai hanya menjadikan Indonesia kuat secara moral, tetapi lemah dari sisi legal formal. Lautan jemaah haji yang berangkat dari Tanah Air setiap tahun memang memberi Indonesia posisi daya tawar yang lebih tinggi. Akan tetapi, hal itu belum tentu cukup sebagai penguat dari sisi hukum, jika tanpa kerangka diplomasi yang kokoh.
Nur Hidayah, Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis UIN Jakarta sekaligus Ketua Center for Sharia Economic Development (CSED) Indef, mengatakan Arab Saudi tidak mengenal sistem kepemilikan properti untuk pihak asing di Makkah dan Madinah. Bahkan, investasi Gulf Cooperation Council (GCC) pun dikontrol ketat oleh dekrit kerajaan.
"Maka, jika kampung haji dimaksudkan sebagai kompleks kepemilikan, perlu dipertimbangkan model long-term waqf atau build-operate-transfer (BOT)," kata Nur Hidayah, dihubungi dari Jeddah.
Catatan lainnya, butuh lobi tingkat tinggi dan dalam hal ini, relasi raja dengan presiden lebih penting dibandingkan dengan data ekonomi. Arab Saudi, sebagaimana diketahui, adalah negara monarki absolut. Artinya, keputusan semacam ini sangat bergantung pada kedekatan dan hubungan saling menghormati antara Presiden Prabowo dan Raja atau Putra Mahkota MBS.
"Jika Presiden Prabowo mampu menunjukkan bahwa kampung haji Indonesia akan mendukung Vision 2030 Arab Saudi, terutama sektor pariwisata religius dan logistik haji-umrah, maka peluangnya meningkat," katanya.
Menurut Nur Hidayah, keberhasilan rencana ini tak hanya bersandar pada modal atau jumlah jemaah, tetapi lebih berat pada seni diplomasi presiden. Harus ada sinergi antara Kementerian Luar Negeri, Kementerian Agama, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), diaspora, dan pelaku usaha syariah nasional.
Lebih jauh, dia juga menekankan aspek kehati-hatian dalam investasi yang bersumber dari dana haji. Jika prinsip kehati-hatian tidak dijaga, dikhawatirkan proyek kampung haji dapat menjadi beban moral dan reputasi bagi BPKH. "Apalagi jika dianggap sebagai proyek politis, bukan investasi syariah yang prudent," imbuhnya.
Pengamat Haji dan Umrah Dadi Darmadi menambahkan proyek ini sebaiknya diposisikan sebagai kerja sama investasi dengan pihak Saudi, pemerintah, atau swasta. Dengan demikian, tidak terkesan menyenggol kepentingan, otoritas, atau kedaulatan Arab Saudi.
"Pastinya cukup banyak tantangan. Penyedia jasa akomodasi informal yang selama ini banyak bermain di industri haji dan umrah di Makkah, perlu diajak dialog dan kerja sama, jangan sampai menghambat rencana," katanya.
Jika upaya diplomasi berjalan sesuai rencana, Dadi menyebut proyek ini cukup realistis diwujudkan dalam jangka menengah antara 5 hingga 10 tahun ke depan.
Dengan sejumlah catatan tersebut, Indonesia tidak bisa bersikap mentang-mentang sebagai penyumbang jemaah haji terbanyak ke Tanah Suci. Jika tujuannya adalah untuk kemaslahatan jemaah haji, perlu perhitungan matang dari berbagai sisi: politik, ekonomi, hingga diplomasi.