Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mimpi Buruk Ekonomi Dunia Jika Iran Tutup Jalur Minyak Selat Hormuz

Parlemen Iran sepakat untuk menutup jalur vital perdagangan minyak Selat Hormuz sebagai respons atas serangan AS. Bagaimana dampak bila Selat Hormuz ditutup?
Kapal tanker minyak melewati Selat Hormuz pada 21 Desember 2018./Reuters/Hamad I Mohammed
Kapal tanker minyak melewati Selat Hormuz pada 21 Desember 2018./Reuters/Hamad I Mohammed

Riwayat Iran Ganggu Perdagangan Selat Hormuz

Sejauh ini, Iran belum pernah benar-benar melakukan penutupan terhadap Selat Hormuz. Namun, tak jarang Iran melontarkan ancaman untuk menutup selat tersebut dan menyerang kapal-kapal yang melewatinya.

Dilansir dari Bloomberg, selama perang antara Irak dan Iran pada 1980-1988, pasukan Irak menyerang terminal ekspor minyak di Pulau Kharg, yang terletak di barat laut Selat Hormuz, sebagian untuk memprovokasi Iran agar membalas dengan cara yang dapat menarik keterlibatan AS dalam konflik tersebut.

Dalam peristiwa yang dikenal sebagai Perang Tanker, kedua belah pihak menyerang total 451 kapal, yang secara signifikan meningkatkan biaya asuransi kapal tanker dan turut mendorong naiknya harga minyak dunia.

Kemudian, saat AS menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Iran atas program nuklirnya pada 2011, Iran juga sempat mengancam akan menutup Selat Hormuz. Namun, pada akhirnya mengurungkan niat tersebut.

Dampak Eskalasi Konflik Iran vs Israel-AS ke Indonesia

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, meluasnya konflik Iran-Israel yang kini melibatkan AS berpotensi mengerek harga minyak dunia. Alhasil, konflik ini akan berdampak pada inflasi dunia.

“Kenaikan harga minyak akan diikuti kemudian dengan kenaikan harga bensin di berbagai negara yang menggunakan bensin termasuk juga, tentunya adalah Indonesia yang merupakan net importir minyak,” kata Faisal kepada Bisnis, Minggu (22/6/2025).

Bahkan, Faisal menyebut, kenaikan harga minyak dunia akan berdampak terhadap peningkatan nilai impor Indonesia. Begitu pula dengan inflasi yang akan meningkat.

Pasalnya, Faisal menjelaskan, harga minyak sangat mudah terpengaruh oleh dinamika geopolitik. Imbasnya, kondisi ini mengancam stabilitas pasokan minyak global.

Faisal menuturkan bahwa serangan saling membalas antara Iran dengan Israel sudah mengerek harga minyak dari US$60-an per barel menjadi US$75-an per barel. Jika AS semakin ikut terlibat di dalam konflik Iran—Israel, sambung dia, harga minyak dunia bisa tembus di atas US$100 per barel.

“Ini [harga minyak] bisa mengerek lebih jauh lagi jika Amerika ikut campur dan kemudian eskalasi bisa mendorong sampai di atas US$80 per barel. Dan jika berterusan, ini tidak menutup kemungkinan bisa sampai US$100 per barel,” ujarnya.

Kendati demikian, Faisal menuturkan bahwa kenaikan harga minyak umumnya juga diikuti oleh kenaikan harga komoditas energi substitusinya, seperti komoditas batu bara dan gas alam.

“Karena kita net eksportir gas alam dan net eksportir batu bara, maka kenaikan harganya tentu akan mendorong ekspor kita secara nilai,” imbuhnya.

Di samping itu, Faisal menambahkan konflik Iran—Israel juga berpotensi meningkatkan inflasi dan menggerus daya beli masyarakat di dalam negeri, terutama kelas menengah ke bawah.

“Dalam kondisi seperti ini sangat mungkin ini akan semakin meningkatkan nilai impor karena tadinya perang dagang sendiri sudah mendorong masuknya atau semakin besarnya inflow barang-barang dari China ke Indonesia,” tuturnya.

Faisal menuturkan, barang-barang China yang sebelumnya menyasar pasar Amerika, tetapi tak bisa masuk atau mengalami hambatan karena tarif tinggi, maka barang asal China tersebut akan mulai mencari alternatif negara lain.

“Yang kita bisa dalam kontrol kita adalah ekonomi kita sendiri, kebijakan domestik kita sendiri,” imbuhnya.

Untuk itu, menurutnya, kebijakan domestik harus dijaga. Dalam hal ini, Indonesia perlu memperkuat ekonomi domestik untuk menghindari impor barang-barang yang tidak dibutuhkan atau kurang dibutuhkan, termasuk barang ilegal. “… supaya tidak semakin menekan neraca perdagangan kita,” pungkasnya.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani mengatakan, kenaikan harga energi berdampak langsung terhadap biaya produksi dan operasional bagi dunia usaha.

Shinta mengatakan, Apindo akan terus memantau secara seksama perkembangan konflik Iran–Israel karena eskalasi geopolitik semacam ini dapat memberikan tekanan tidak langsung terhadap perekonomian nasional, terutama melalui lonjakan harga energi dan potensi gangguan logistik internasional.

“Indonesia sebagai negara importir minyak sangat rentan terhadap fluktuasi ini. Pelaku usaha, khususnya di sektor padat karya, tentu juga akan merasakan tekanan dari sisi struktur biaya yang makin menekan margin usaha,” kata Shinta kepada Bisnis, Minggu (22/6/2025).

Bahkan, Shinta mengungkap, dari sisi rantai pasok, beberapa sektor juga menyampaikan kekhawatiran atas potensi terganggunya jalur logistik internasional, terutama menuju kawasan Eropa, Teluk, dan Afrika.

Padahal, ujar dia, jalur ini penting karena beberapa bahan baku strategis seperti gandum, kedelai, gas, dan pupuk masih diimpor melalui rute-rute tersebut. (Annasa Rizki Kamalina, Rika Anggraeni)

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Sumber : Bloomberg, Reuters
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper