Bsnis.com, JAKARTA — Perserikatan Bangsa-bangsa atau PBB memproyeksikan investasi asing langsung global akan menurun pada tahun ini, sejalan dengan bertambahnya ketidakpastian akibat perang tarif yang diinisiasi Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Dalam laporan bertajuk World Investment Report 2025, Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan atau United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menyampaikan bahwa pada awal tahun ini sempat ada harapan pertumbuhan moderat untuk investasi global.
Hanya saja, ekspektasi tersebut kini tergeser oleh meningkatnya ketidakpastian ekonomi terutama akibat eskalasi perang tarif baru serta memburuknya sentimen investor. Hal itu tampak dari penurunan proyeksi indikator-indikator utama ekonomi pada 2025.
UNCTAD mencatat bahwa proyeksi pertumbuhan PDB global turun dari 3,2% (Januari 2025) menjadi 2,8% (April 2025); pembentukan modal tetap bruto turun dari 3,7% menjadi 3,1%; volume perdagangan turun dari 3,4% menjadi 1,7%; dan stabilitas nilai tukar naik dari 4,2% menjadi 4,3%. Volatilitas pasar keuangan juga meningkat dari 8,7 menjadi 9,4.
"Tren-tren ini menyebabkan penurunan tajam aktivitas investasi pada awal 2025, dengan data kuartal I menunjukkan rekor terendah dalam volume transaksi dan pengumuman proyek baru," tulis UNCTAD dalam laporan yang dirilis pada Kamis (19/6/2025).
Lembaga yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss itu mencatat pasar Merger & Akuisisi (M&A) menjadi yang aling terdampak. Meski sempat ada optimisme pada Januari, aktivitas M&A anjlok tajam di kuartal I/2025—mencapai titik terendah sejak krisis keuangan global. Bahkan jika M&A global pulih di paruh kedua 2025, belum tentu disertai dengan peningkatan transaksi lintas negara.
Baca Juga
UNCTAD mengungkapkan fragmentasi kebijakan, pengawasan regulasi yang semakin ketat atas akuisisi asing, serta faktor geopolitik tengah mengubah strategi akuisisi korporasi secara global.
Meski situasi tampak suram, terdapat beberapa faktor penyeimbang. UNCTAD menjelaskan siklus penurunan suku bunga yang diperkirakan dimulai di sejumlah negara maju dapat meringankan beban pembiayaan, yang bisa membantu menstabilkan pembiayaan proyek internasional (IPF) dan FDI padat modal.
Laba perusahaan multinasional (MNC) tetap kuat, menunjukkan kapasitas berkelanjutan untuk reinvestasi. Laba ditanam kembali (reinvested earnings) merupakan komponen penting dan stabil dalam aliran FDI, khususnya di tengah ketidakpastian.
Lebih lanjut, UNCTAD mengungkapkan bahwa perkembangan kebijakan perdagangan dan investasi saat ini tidak mencerminkan tren baru, tetapi percepatan dari tren yang sudah ada sebelumnya.
Dalam dua tahun terakhir, FDI di sektor manufaktur padat rantai pasok telah mulai bergeser akibat serangkaian gangguan global: pandemi, pemblokiran Terusan Suez, kemacetan logistik global, hingga dorongan politik untuk melokalisasi produksi di sektor strategis
Laporan Investasi Dunia tahun lalu mencatat kenaikan 22% dalam pengumuman proyek greenfield di sektor manufaktur pada 2023, memutus tren negatif selama lebih dari satu dekade. Pada 2024, pengumuman proyek greenfield di sektor yang sama meningkat lagi sebesar 5%.
Sementara itu, UNCTAD menyampaikan bahwa pendorong gelombang baru investasi restrukturisasi rantai pasok pada 2025 mencakup: diversifikasi risiko, keamanan pasokan, dan kesesuaian geopolitik.
Eskalasi perang tarif telah memperkuat dorongan akan restrukturisasi rantai pasok itu, terutama di sektor-sektor yang sensitif terhadap kebijakan perdagangan dan sangat bergantung pada logistik just-in-time.
Misalnya, strategi industri yang menargetkan pembangunan kapasitas produksi dalam negeri di sektor-sektor strategis—seperti mineral kritis, manufaktur canggih, dan infrastruktur digital—kini mulai menentukan lokasi dan bentuk investasi baru.
Fragmentasi perdagangan juga mendorong perusahaan untuk berinvestasi di negara-negara yang sejalan secara geopolitik, mempercepat tren regionalisasi dan mengurangi eksposur lintas batas.
Terakhir, UNCTAD mewanti-wanti perkembangan regulasi akan terus memengaruhi arus investasi asing langsung. Pemerintah AS saat ini mengusung penyederhanaan regulasi dan insentif investor, tetapi bersamaan dengan itu juga memperketat pengawasan investasi asing, khususnya di sektor pertahanan dan teknologi.
Uni Eropa dan negara maju lainnya juga mengikuti langkah ini, yang menciptakan landskap investasi asing langsung yang makin kompleks bagi investor asing.
Di sisi lain, sumber baru modal swasta mulai memainkan peran penting. Perusahaan ekuitas swasta (private equity), dengan cadangan dana besar yang belum dialokasikan, sangat aktif di sektor teknologi dan pasar negara berkembang.
Investor institusional, termasuk dana kekayaan negara—seperti Danantara—dan dana pensiun publik, mencari aset yang stabil dan tahan inflasi seperti infrastruktur dan konektivitas digital.
"Aktor-aktor ini diperkirakan akan berpengaruh semakin besar terhadap aliran investasi asing langsung, terutama dalam konteks agenda ketahanan dan keberlanjutan global," jelas laporan UNCTAD.
Tren Negatif
UNCTAD melaporkan bahwa realisasi investasi global mencapai US$1,51 triliun pada 2024. Jumlah tersebut lebih tinggi dari realisasi investasi global pada tahun sebelumnya sebesar US$1,45 triliun.
Meski aliran investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) meningkat 4% dari US$1,45 triliun menjadi US$1,51 triliun, namun UNCTAD menyatakan peningkatan tersebut terjadi akibat aliran dana yang tidak stabil melalui negara perantara (conduit economies).
Negara perantara itu seperti Luksemburg, Belanda, Kepulauan Cayman, dan lainnya. Negara-negara itu biasanya digunakan sebagai jalur lalu lintas dana oleh perusahaan multinasional, bukan sebagai lokasi investasi riil.
"Jika aliran melalui negara perantara tersebut dikecualikan, maka aliran FDI global justru turun 11%, menandai penurunan untuk tahun kedua berturut-turut," tulis UNCTAD dalam laporannya.
Dilaporkan, FDI ke negara-negara berkembang masih sangat terkonsentrasi pada sejumlah kecil negara.
Aliran FDI ke negara-negara berkembang secara keseluruhan stagnan, meskipun terdapat kenaikan signifikan di Afrika (meningkat 75%) dan Asia Tenggara (meningkat 10%). Sebaliknya, aliran investasi justru menurun di Asia Timur (menurun 12%) dan Amerika Selatan (menurun 18%).
Di Indonesia sendiri, penanaman modal asing langsung sebesar US$24,21 miliar pada 2024 atau sekitar Rp363,18 triliun (kurs APBN 2024: Rp15.000 per dolar AS). Dalam catatan UNCTAD, angka tersebut meningkat dari realisasi investasi asing langsung pada tahun lalu sebesar US$21,49 miliar atau naik 12,63%.
Lebih lanjut, tren sektoral menunjukkan penurunan investasi di sebagian besar sektor infrastruktur atau menurun 14%. Sebaliknya, sektor digital mencatat lonjakan nilai proyek hingga dua kali lipat.
Porsi FDI yang semakin besar di sektor ekonomi digital tercermin dalam komposisi 100 perusahaan multinasional (MNE) teratas, di mana perusahaan teknologi kini menyumbang lebih dari 20% dari total pendapatan mereka.
Sementara itu, investasi yang ditujukan bagi pencapaian SDGs di negara-negara berkembang turun antara seperempat hingga sepertiga, khususnya di sektor infrastruktur, energi terbarukan, air dan sanitasi, serta sistem pangan dan pertanian.
Hanya sektor kesehatan yang mencatat pertumbuhan positif pada 2024, meskipun dimulai dari basis yang relatif kecil.
Adapun penurunan pembiayaan proyek internasional (international project finance/IPF) berdampak besar terhadap upaya pembangunan. Kontraksi berkepanjangan dalam IPF menjadi perhatian serius menjelang Konferensi Internasional Keempat tentang Pembiayaan Pembangunan.
Antara 2021—2024, nilai IPF turun lebih dari 40%. Negara-negara terbelakang (LDCs) menjadi pihak yang paling terdampak, karena sangat bergantung pada sumber pembiayaan internasional.