Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mendesak produsen energi untuk menurunkan harga minyak mentah setelah serangan militer AS terhadap Iran.
Melansir Bloomberg pada Selasa (24/6/2025), desakan tersebut dikeluarkan di tengah kekhawatiran bahwa konflik Timur Tengah yang memburuk dan potensi gangguan pasokan akan memperpanjang reli harga di pasar minyak global.
“Semuanya, jaga harga minyak tetap rendah. Saya memantau! Jangan mainkan Senjata musuh, Jangan lakukan itu!" tulis Trump melalui media sosial pada Senin waktu setempat.
Dalam unggahan lanjutan, Trump juga memerintahkan Departemen Energi untuk segera meningkatkan produksi. “Bor, saatnya bor!!! dan saya maksudkan sekarang juga!!!” ujarnya.
Menanggapi perintah tersebut, Menteri Energi AS Chris Wright melalui platform X, mengatakan bahwa upaya tersebut telah dimulai.
Unggahan Trump di media sosial menunjukkan bahwa tekanan dari potensi lonjakan harga minyak — dan dampaknya terhadap ekonomi domestik — mulai membebani pemerintahannya.
Baca Juga
Sebelumnya, Trump sempat memuji penurunan harga minyak, meski hal itu sempat memicu ketidakpuasan dari para eksekutif energi yang mendanai kampanye pilpres 2024-nya.
Namun, Trump memiliki opsi terbatas untuk menahan lonjakan harga di dalam negeri. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan cadangan strategis minyak AS, tetapi saat ini stok tersebut telah susut menjadi sekitar 400 juta barel — hanya setengah dari kapasitas maksimumnya.
Sejumlah analis juga memperingatkan bahwa sekalipun cadangan tersebut dilepas ke pasar, dampaknya tidak akan cukup untuk menggantikan potensi kehilangan jutaan barel minyak per hari jika Iran benar-benar menebar ranjau laut di Selat Hormuz untuk mengganggu jalur pelayaran.
Tutup Selat Hormuz
Sementara itu, Iran memperingatkan keputusan Trump untuk ikut serta dalam serangan militer Israel dengan menyerang tiga fasilitas nuklir utama di negaranya akan memicu aksi balasan. Militer Iran menyatakan akan memberikan respons yang proporsional terhadap serangan AS.
Salah satu langkah balasan yang paling dikhawatirkan adalah penutupan Selat Hormuz — jalur strategis di muara Teluk Persia yang dilintasi sekitar seperempat perdagangan minyak laut dunia.
Meski fokus utama tertuju pada Selat Hormuz, potensi serangan balasan Iran juga dikhawatirkan dapat menyasar infrastruktur lain yang penting bagi pengolahan dan pengiriman minyak di kawasan.
Colby Connelly, peneliti senior di Middle East Institute mengatakan, sekitar 70%–75% minyak mentah, kondensat, dan produk hasil olahan dari Teluk mengalir melalui sembilan fasilitas utama yang berisiko menjadi titik hambatan.
Penasihat ekonomi utama Gedung Putih, Kevin Hasset menyebut bahwa pasar minyak masih terlihat stabil.
“Untuk saat ini belum ada tanda-tanda gangguan serius,” katanya.
Namun, kenaikan harga minyak — termasuk bensin dan bahan bakar jet — berisiko menekan daya beli konsumen AS yang sebelumnya sudah terbebani inflasi. Kondisi ini juga bisa berdampak secara politik terhadap Trump dan Partai Republik menjelang pemilu.
Jika Iran benar-benar menutup Selat Hormuz, harga minyak mentah bisa melampaui US$130 per barel, menurut perkiraan Bloomberg Economics.
Sekretaris Pers Gedung Putih Karoline Leavitt menyatakan bahwa pemerintah AS sedang memantau secara aktif dan cermat situasi di Selat Hormuz serta memperingatkan bahwa rezim Iran akan bodoh jika benar-benar mengambil langkah tersebut.
Harga minyak global saat ini tercatat sekitar 10% lebih tinggi dibandingkan posisi sebelum Israel menyerang Iran awal bulan ini. Namun, pada perdagangan Senin, pasar mulai memangkas kenaikan tersebut seiring meredanya kekhawatiran akan gangguan pasokan dalam waktu dekat.
Harga minyak jenis Brent sempat melonjak ke level US$81,40 per barel, sebelum turun kembali ke bawah US$77. Menurut Connelly, lonjakan harga saat ini lebih mencerminkan reaksi pasar terhadap potensi gangguan pasokan ketimbang kehilangan pasokan riil.
"Namun, dampaknya mulai terasa di sejumlah wilayah, dan prospek makroekonomi global akan tertekan jika situasi ini berlangsung lebih lama — bahkan tanpa gangguan pasokan yang nyata," ujar Connelly.
Meski Trump telah mendorong peningkatan pengeboran domestik, langkah tersebut tidak serta-merta mampu mendorong produksi baru. Dalam beberapa tahun terakhir, pelaku industri energi AS cenderung enggan melakukan ekspansi besar-besaran karena harga minyak West Texas Intermediate (WTI) sempat berada di bawah biaya produksi di beberapa lokasi.
Secara umum, perusahaan minyak lebih cenderung mengambil keputusan investasi berdasarkan proyeksi harga jangka panjang ketimbang lonjakan harga sesaat akibat ketegangan geopolitik.
Bahkan sebelum serangan AS terhadap Iran terjadi, pejabat pemerintahan Trump sudah membahas kemungkinan gangguan pasokan minyak yang bisa memicu lonjakan harga, termasuk opsi-opsi mitigasinya.