Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengungkap sejumlah keuntungan dan kekurangan dari aturan baru impor tekstil dan produk tekstil.
Adapun, pemerintah baru-baru ini mengeluarkan paket-paket deregulasi impor melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 17 hingga No. 23 Tahun 2025 yang mencakup tata kelola impor produk tekstil, elektronik, kimia hingga produk kehutanan.
Wakil Ketua API David Leonardo mengatakan, setidaknya terdapat lima kelebihan yang menjadi angin segar bagi produsen dalam negeri dengan kehadiran aturan baru impor produk tekstil yang termuat dalam Permendag Nomor 17 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Tekstil dan Produk Tekstil.
Pertama, dia menyoroti pasal 3 ayat (1) pada Permendag No. 17/2025 terkait kewajiban importir untuk memiliki izin berusaha di bidang impor berupa perizinan impor (PI) sebelum produk tekstil masuk ke daerah pabean.
“Ini mencegah impor tanpa kontrol, melindungi industri dalam negeri,” kata David kepada Bisnis, Kamis (3/7/2025).
Kedua, pada pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa pengenaan kewajiban verifikasi atau penelusuran teknis. Menurut dia, hal ini menjamin spesifikasi dan kuantitas sesuai dokumen, menekan praktik under-invoice atau mis-declared.
Baca Juga
Ketiga, aturan baru ini membuat menteri dapat menentukan tempat pemasukan barang impor, berupa pelabuhan tujuan. Kebijakan tersebut tertuang dalam pasal 5 ayat (1-2).
“Sehingga memusatkan pengawasan di pelabuhan tertentu dan lebih mudah diawasi bea cukai,” ujarnya.
Keempat, aturan impor terkait skema pengecualian untuk kawasan berikat pada pasal 9-6 ayat (1) yang menyebutkan bahwa pemasukan tekstil dan produk tekstil (TPT) kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas belum diberlakukan kebijakan pengaturan impor.
“Dengan begitu, aturan ini mendukung aktivitas re-ekspor dan industri berorientasi ekspor di FTZ [free trade zone], kawasan ekonomi khusus (KEK), serta TPB [tempat penimbunan berikat],” terangnya.
Kelima, kegiatan impor wajib dilaporkan realisasinya dan terdapat sanksi administratif sebagaimana tercantum dalam pasal 15 ayat (1). David juga menyoroti adanya mekanisme post-audit dan ancaman sanksi, serta mendorong disiplin pelaporan.
Kendati demikian, terdapat sejumlah tantangan dan kelemahan dari aturan importasi baru ini. Pertama, beban administrasi tinggi lantaran setiap pengiriman perlu PI dan laporan surveyor sehingga menambah biaya serta waktu (terutama UKM).
Kedua, pilihan pelabuhan terbatas sehingga importir di daerah tanpa pelabuhan yang ditunjuk harus trans-shipment dan membuat ongkos logistik naik.
“Kemudian, PI berlaku pendek dan hanya 1 kali perpanjangan pada Lampiran I, bagian 'Masa Berlaku PI'. Kontrak pasokan jangka panjang (>1 th) butuh pengurusan PI berulang,” jelasnya.
Keempat, aturan pengecualian dinilai rumit khususnya pada Pasal 11 & 12 yang disebut terlalu banyak tabel Lampiran II–IV sehingga importir harus membaca detail untuk tahu haknya. Hal ini dapat memicu salah tafsir.
“Terakhir, sanksi administratif bisa keras. Sanksi berlaku juga untuk kesalahan administratif kecil [misalnya telat lapor],” pungkasnya.