Bisnis.com, JAKARTA — Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba membantah anggapan bahwa negosiasi dagang dengan Amerika Serikat (AS) mengalami kebuntuan, menjelang tenggat pemberlakuan tarif impor sebesar 24% secara menyeluruh pada 9 Juli mendatang.
“Pembicaraan terus bergerak maju, perlahan tapi pasti. Ada berbagai isu yang dibahas, termasuk hambatan non-tarif, dan masing-masing poin tersebut sedang dinegosiasikan secara bertahap,” ujar Ishiba dalam wawancara televisi dikutip dari Bloomberg pada Jumat (4/7/2025).
Ishiba tampak berupaya meredam kekhawatiran bahwa Jepang tidak mampu memperoleh konsesi besar dari AS, dan dapat menjadi sasaran keputusan sepihak Washington untuk memberlakukan tarif setinggi 35%. Meski demikian, dia tidak memberikan indikasi bahwa kesepakatan bisa segera dicapai sebelum tenggat tarif timbal balik diberlakukan pekan depan.
Pernyataan Ishiba juga berseberangan dengan komentar Menteri Keuangan AS Scott Bessent yang sebelumnya menyebut bahwa pemilu majelis tinggi Jepang pada 20 Juli menjadi kendala domestik yang membatasi ruang manuver Tokyo untuk menyelesaikan kesepakatan. Komentar Bessent juga muncul setelah rentetan kritik Presiden Donald Trump terhadap Jepang dalam beberapa hari terakhir.
Pemilu majelis tinggi Jepang yang dijadwalkan pada 20 Juli akan menjadi ajang evaluasi publik terhadap kinerja pemerintahan minoritas Ishiba. Survei menunjukkan inflasi menjadi kekhawatiran utama pemilih, dan kesepakatan dagang yang dinilai terlalu menguntungkan Trump bisa menuai resistensi di dalam negeri.
Salah satu kekhawatiran utama Jepang adalah potensi tarif sektoral sebesar 25% terhadap industri otomotif, sektor andalan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja di Negeri Sakura.
Baca Juga
Negosiator Jepang bersikukuh bahwa isu tarif mobil harus menjadi bagian integral dari kesepakatan, sembari menekankan kontribusi industri tersebut terhadap investasi dan penciptaan lapangan kerja di AS.
Trump dalam beberapa hari terakhir menuduh Jepang enggan membeli mobil dan beras asal AS, serta mengancam menaikkan tarif timbal balik hingga 35%. Retorika tersebut menimbulkan kekhawatiran bahwa Jepang bisa menjadi target utama dalam misi Trump untuk merombak tatanan dagang global.
Menanggapi hal tersebut, Ishiba mengatakan bahwa sejumlah pemahaman Trump mengenai hubungan dagang kedua negara tidak akurat.
“Presiden Trump menyebut tidak ada mobil AS di Jepang dan Jepang tidak mengimpor beras dari AS, namun pernyataan itu keliru. Jepang adalah investor asing terbesar di AS dan penyumbang lapangan kerja terbesar. Saya harap upaya ini juga mendapat apresiasi," tegasnya.