Bisnis.com, JAKARTA – Negara-negara BRICS tetap 'berkepala dingin' merespons ancaman Presiden AS Donald Trump yang akan menambah tarif 10% kepada negara-negara yang disebut "anti-Amerika".
Sejauh ini, kesepuluh negara anggota ekonomi negara berkembang tersebut enggan merespons ancaman tambahan tarif Trump sebesar 10% saat meninggalkan hotel mereka di Rio de Janeiro. Adapun, Brasil menjadi tuan rumah KTT BRICS tahun ini.
Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva menolak untuk memberikan komentar saat ditanyai wartawan. Dia mengatakan baru akan berbicara setelah KTT. Sedangkan penasihatnya Celso Amorim juga menghindari untuk memberikan komentar.
"Ancaman [Trump] itu hanya menunjukkan bahwa organisasi seperti BRICS, yang memiliki kapasitas untuk bereaksi, harus bertemu dan mencapai kesepakatan," kata Amorim dalam wawancara, sambil menambahkan bahwa BRICS tidak mengancam AS dalam hal apapun, dikutip Bloomberg, Senin (7/7/2025).
Beberapa pejabat dari negara anggota BRICS mengatakan saat ini tidak bisa menebak apa yang akan dilakukan Trump. Ancaman terbaru Trump itu bisa saja benar-benar ancaman atau hanya retorika saja.
BRICS sepakat untuk saat ini akan wait and see mencermati apa yang akan disepakati lewat KTT.
Adapun, negara-negara BRICS mewakili 49% dari total populasi dunia dan 39% dari total PDB dunia. Posisi BRICS berada di tempat yang canggung karena pemerintahan Trump menyinggung dari segala sisi seperti perang dan perdamaian, perdagangan, dan tata kelola global.
Walaupun negara-negara BRICS menanggapi dengan serius tentang tarif, anggaran pertahanan, dan mencela serangan udara AS ke anggota BRICS yaitu Iran, negara-negara ini menolak untuk menyebut nama AS.
Trump pun merespons lewat ancaman bakal menambah tarif 10% kepada negara-negara yang menggabungkan diri ke kelompok "Anti-Amerika yaitu BRICS." Saham-saham di negara berkembang pun anjlok pada awal pekan ini menyusul ancaman Trump tersebut.
"Semua orang saat ini bertopang pada BRICS dalam rangka multilateralisme," kata Amorim.