Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Trump Siap Berlakukan Tarif Impor 50% untuk Tembaga

Pernyataan Donald Trump yang berencana mengenakan tarif sebesar 50% atas impor tembaga memicu lonjakan harga tembaga berjangka di New York hingga 17%.
Seorang pekerja memegang bongkahan bijih tembaga. Bloomberg/Zinyange Auntony.
Seorang pekerja memegang bongkahan bijih tembaga. Bloomberg/Zinyange Auntony.

Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berencana mengenakan tarif sebesar 50% atas impor tembaga. Trump juga akan memberi kelonggaran selama satu tahun bagi produsen farmasi sebelum menerapkan tarif sebesar 200% terhadap produk mereka yang dibuat di luar negeri.

Dalam pertemuan kabinet pada Selasa (8/7/2025) waktu setempat, Trump menegaskan bahwa tarif tambahan akan menyasar sejumlah industri strategis seperti obat-obatan, semikonduktor, dan logam.

“Saya rasa tarif untuk tembaga akan kami tetapkan sebesar 50%,” ujarnya menjawab pertanyaan wartawan dikutip dari Bloomberg pada Rabu (9/7/2025).

Pernyataan tersebut memicu lonjakan harga tembaga berjangka di New York hingga 17%, mencatat kenaikan intraday tertinggi sejak 1988.

Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick mengatakan kepada CNBC International tak lama setelah pertemuan kabinet bahwa investigasi atas impor tembaga telah rampung. Dia memperkirakan tarif tersebut akan mulai berlaku pada akhir Juli atau 1 Agustus 2025.

“Tembaga sudah selesai. Kajian kami sudah rampung dan telah diserahkan kepada presiden. Karena pasar tembaga sudah kami pelajari, presiden kini berwenang menetapkan tarif pasar untuk komoditas tersebut," kata Lutnick

Adapun untuk industri farmasi, Trump menyatakan akan memberi waktu sekitar satu hingga satu setengah tahun agar produsen bisa memindahkan operasi mereka ke dalam negeri, sebelum memberlakukan tarif tinggi.

“Kami akan beri waktu sekitar setahun, atau satu setengah tahun. Setelah itu, jika masih mengimpor obat-obatan dan produk terkait ke AS, mereka akan dikenakan tarif sangat tinggi, sekitar 200%. Kami beri masa transisi agar mereka bisa bersiap," jelas Trump.

Dorongan Tarif Baru

Trump sebelumnya telah mengaktifkan penyelidikan berdasarkan Section 232 dari Trade Expansion Act of 1962 untuk produk-produk tersebut, dengan alasan bahwa lonjakan impor mengancam keamanan nasional. Setelah investigasi selesai, Trump diperkirakan akan segera menerapkan kebijakan tarif tersebut.

Langkah ini berbeda dari rencana tarif negara-spesifik yang juga diumumkan Trump dan dijadwalkan berlaku mulai awal Agustus. Tarif sektoral yang menggunakan Section 232 tidak akan terpengaruh oleh skema negara tertentu.

Meski telah lama beredar, kabar rencana tarif tembaga tetap mengejutkan pasar. Industri tembaga AS selama ini bergantung pada produksi domestik yang kuat dan impor dari mitra dagang utama. 

Pada masa kepresidenan sebelumnya, Trump lebih fokus pada tarif baja dan aluminium, membuat sektor tembaga relatif aman dari gejolak.

Namun, lonjakan permintaan global terhadap tembaga dalam dekade mendatang diperkirakan akan menekan pasokan. Industri seperti pusat data, otomotif, dan kelistrikan membutuhkan lebih banyak tembaga untuk mendukung ekspansi kendaraan listrik dan jaringan energi terbarukan. Saat ini, produksi tembaga dunia belum mampu mengimbangi kebutuhan tersebut.

Berdasarkan data US Geological Survey, AS mengonsumsi sekitar 1,6 juta ton tembaga olahan pada 2024. Produksi domestik mencapai 850.000 ton, sehingga sisanya harus dipenuhi lewat impor. Chili menjadi pemasok terbesar dengan pangsa 38%, disusul Kanada (28%) dan Meksiko (8%). Riset Morgan Stanley mencatat bahwa impor bersih tembaga mencakup sekitar 36% dari total permintaan AS.

Ancaman bagi Industri Farmasi

Tarif terhadap industri farmasi telah menjadi bagian dari agenda dagang Trump sejak awal, meskipun dikhawatirkan dapat mengganggu rantai pasok, memperburuk kelangkaan obat, dan menaikkan harga di dalam negeri.

Trump berulang kali menyebut produksi obat di luar negeri sebagai ancaman keamanan nasional dan mendorong perusahaan untuk merelokasi pabrik ke AS. Beberapa perusahaan farmasi telah menanggapi dengan mengumumkan investasi manufaktur bernilai miliaran dolar di AS.

Jika diberlakukan, tarif tersebut diprediksi akan sangat berdampak pada Irlandia—negara yang mencatat surplus perdagangan sebesar US$54 miliar dengan AS, sebagian besar berasal dari ekspor produk farmasi. 

Irlandia menjadi basis produksi bagi perusahaan AS seperti Eli Lilly dan Pfizer, yang mengoperasikan hampir dua lusin fasilitas manufaktur untuk mengekspor ke AS, menurut analisis TD Cowen.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper