Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemda Mulai Teriak, Sebut Efisiensi TKD Bisa Picu Ketimpangan

Pemda protes efisiensi belanja daerah oleh pusat, khawatir ketimpangan meningkat. Usul klasterisasi daerah berdasarkan PAD untuk efisiensi yang adil.
Masinton Pasaribu saat dilantik menjadi Bupati Tapanuli Tengah di Istana Merdeka, Kamis (20/2/2025)/Bisnis-Dany Saputra
Masinton Pasaribu saat dilantik menjadi Bupati Tapanuli Tengah di Istana Merdeka, Kamis (20/2/2025)/Bisnis-Dany Saputra

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah daerah alias pemda mewanti-wanti pemerintah pusat terkait dampak efisiensi anggaran terhadap belanja transfer ke daerah. Ada kekhawatiran peningkatan ketimpangan pembangunan karena tidak semua daerah mandiri secara fiskal. 

Seperti diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan melanjutkan efisiensi anggaran demi mencari dana untuk biayai program prioritas Presiden Prabowo Subianto. Salah satu pos anggaran yang jadi incaran adalah transfer ke daerah alias TKD, seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 56/2025. 

Bupati Tapanuli Tengah Masinton Pasaribu mengemukakan bahwa  kabupaten dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) kecil akan menjadi pihak paling dirugikan apabila pemangkasan TKD dilakukan secara seragam.

“Daerah-daerah seperti Kabupaten Tapanuli Tengah yang PAD-nya di bawah Rp100 miliar akan sangat terdampak pembangunannya jika dilakukan pemangkasan TKD dan perlu dipertimbangkan kembali agar pembangunan di daerah tidak mengalami hambatan,” ujar Masinton kepada Bisnis, Selasa (12/8/2025).

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) ini pun mengusulkan pemerintah pusat menyusun klaster daerah berdasarkan kemampuan keuangan untuk menghindari efek pemangkasan anggaran yang tidak proporsional.

Dia mencontohkan, PAD di bawah Rp100 miliar, PAD Rp100 miliar sampai Rp250 miliar, dan PAD di atas Rp250 miliar. Dengan demikian, kebijakan efisiensi TKD bersifat lebih tertarget dan adil.

Masinton juga menyoroti penyempitan kewenangan otonomi daerah yang ikut menggerus potensi pendapatan. Dia mencontohkan pembatasan kewenangan pemda untuk mengelola wilayah laut dan sumber daya alam lokal yang selama ini berpotensi menambah PAD.

“Kita memiliki wilayah laut yang sesungguhnya dapat dikelola untuk menambah pendapatan daerah, namun sekarang kabupaten tidak lagi memiliki kewenangan di laut. Begitupun dengan pertambangan galian C, hutan, dan lain-lain,” katanya.

Perumusan Skema Efisiensi

Masinton mendorong pemerintah pusat untuk merumuskan kembali skema pembagian TKD yang mempertimbangkan kapasitas fiskal dan fungsi otonomi masing-masing daerah.

Senada, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman menilai langkah pemerintah pusat mencadangkan TKD hasil efisiensi dan tidak menyalurkannya ke daerah—sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (4) dan (5) PMK 56/2025—akan memukul belanja modal daerah.

“Belajar dari enam bulan terakhir saat Inpres 1/2025 berlaku, pemotongan TKD sekitar Rp50 triliun, terutama pada DAK [Dana Alokasi Khusus] fisik, berdampak signifikan. Hampir setengah DAK fisik dipangkas dan itu sangat mengganggu proyek-proyek infrastruktur yang menjadi kewenangan daerah,” ujar Armand kepada Bisnis, Senin (11/8/2025).

Menurutnya, DAK fisik memiliki peran ganda, yaitu mendorong pemerataan pembangunan dan pencapaian prioritas nasional, serta menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi lokal. Pemangkasan anggaran tersebut, lanjutnya, membuat daerah kehilangan daya dorong untuk menjalankan pembangunan sesuai kebutuhan masing-masing.

KPPOD mencatat bahwa selain infrastruktur, efisiensi belanja juga memukul sektor jasa. Misalnya, larangan penggunaan anggaran untuk kegiatan di hotel berdampak pada industri perhotelan dan restoran di daerah, serta mengurangi penerimaan pajak daerah dari sektor tersebut.

“Kalau aktivitas di hotel dan restoran berkurang, penerimaan dari pajak hotel dan restoran juga turun. Jadi efeknya berlapis,” ujar Armand.

Dia juga menilai kebijakan PMK 56/2025 akan semakin menekan kemandirian keuangan daerah. Padahal, sambungnya, selama ini ruang fiskal daerah sudah sempit akibat mandatory spending yang melebar seperti yang diatur UU 1/2025 dan aturan turunannya.

Armand mencontohkan, ketentuan belanja pegawai maksimal 30% dan infrastruktur minimal 40%, serta semakin banyak alokasi yang peruntukannya diatur pusat. “DAU [Dana Alokasi Umum] sekarang tidak murni block grant, sudah bercampur specific grant. Ada DAU rasa DAK [Dana Alokasi Khusus]. Artinya ruang daerah untuk mengalokasikan belanja sesuai persoalan di wilayahnya makin terbatas. Kalau begini, otonomi daerah secara fiskal ya hampir tidak ada,” ujar Armand kepada Bisnis, Senin (11/8/2025).

KPPOD mendorong agar rencana efisiensi anggaran pada tahun-tahun mendatang dibicarakan dalam forum pusat-daerah sebelum penetapan APBN. Dengan demikian, pembangunan dan kebijakan fiskal tetap berpihak pada kepentingan daerah.

Armand mengungkap selama ini keputusan pemotongan TKD selama ini bersifat sepihak, tanpa dialog dengan daerah yang terdampak langsung. Dia mencontohkan, pemerintah daerah tidak diminta pendapat ketika pemerintah pusat memutuskan realokasi anggaran dana TKD hingga Rp50 triliun sesuai Inpres 1/2025 dan kini tata caranya diatur dalam PMK 56/2025.

“Oke lah mungkin pemerintah punya pertimbangan untuk melakukan efisiensi, tetapi perlu juga memperhatikan seperti apa kepentingan daerah,” jelasnya.

Sri Mulyani 'Genggam Kuat' Belanja TKD

Adapun Sri Mulyani telah menetapkan tata cara efisiensi dana TKD melalui PMK No. 56/2025, sebagai bagian dari langkah mendukung program prioritas Presiden Prabowo Subianto.

Berdasarkan Pasal 17 ayat (1), efisiensi TKD diberlakukan terhadap alokasi yang digunakan untuk infrastruktur, dana otonomi khusus (otsus) dan keistimewaan daerah, dana yang belum dirinci per daerah dalam APBN tahun berjalan, hingga alokasi yang tidak digunakan untuk pelayanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan. Kebijakan juga mencakup TKD lain sesuai arahan presiden.

Sementara dalam Pasal 17 ayat (4) dan (5) diatur bahwa dana TKD hasil efisiensi akan dicadangkan dan tidak disalurkan, kecuali terdapat arahan lain dari presiden.

Dijelaskan bahwa hasil efisiensi TKD dapat berbentuk alokasi per daerah maupun alokasi yang belum dirinci. Dana hasil efisiensi yang dicadangkan akan menjadi dasar penyesuaian rincian alokasi TKD per provinsi/kabupaten/kota atau per bidang, yang kemudian diadopsi dalam APBD masing-masing daerah.

Selain itu, Pasal 19 mengatur mekanisme pergeseran anggaran TKD yang telah dicadangkan ke Subbagian Anggaran Bendahara Umum Negara Belanja Lainnya. Proses ini dilakukan tanpa memerlukan reviu Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan mempertimbangkan kebutuhan anggaran serta karakteristik masing-masing jenis TKD.

Pemerintah juga membuka kemungkinan penggunaan dana hasil efisiensi untuk membiayai belanja pegawai, operasional kantor, pelaksanaan tugas dan fungsi dasar, layanan publik, maupun kegiatan prioritas presiden, dengan persetujuan menteri keuangan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro