Bisnis.com, JAKARTA -- Rencana pemerintah untuk menerapkan kembali efisiensi belanja pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diminta agar bisa menerapkan disiplin fiskal tanpa mematikan pemulihan. Hal itu menjadi tantangan karena defisit diperkirakan melebar ke angka 2,78%.
Sebagaimana diketahui, efisiensi yang bakal dilanjutkan pemerintah sebagai amanat dari Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025 tertuang pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56/2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang diterbitkan akhir Juli 2025 lalu.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebelumnya telah menegaskan bahwa tidak akan melakukan penyisiran ulang efisiensi anggaran kecuali yang sudah tercantum pada Inpres No.1/2025. Kemudian, PMK terbaru hanya menuliskan 15 pos anggaran yang terkena efisiensi atau lebih sedikit yakni 16 pos anggaran pada aturan sebelumnya: S-37/MK.02/2025.
Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah mengungkap perkiraan bahwa outlook defisit APBN 2025 melebar ke 2,78% terhadap PDB atau sekitar Rp662 triliun. Outlook itu lebih tinggi dari target defisit yang sudah ditetapkan sebelumnya yaitu Rp616,2 triliun atau 2,53% terhadap PDB.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. Josua Pardede mengatakan, langkah efisiensi yang dilakukan pemerintah di tengah melebarnya defisit itu penting. Namun, penghematan belanja pemerintah harus dipastikan tidak mematikan pemulihan.
"Dalam konteks outlook defisit 2025 yang diperkirakan melebar ke 2,78% PDB (sekitar Rp662 triliun), langkah efisiensi ini penting untuk menjaga disiplin fiskal tanpa mematikan pemulihan," jelasnya kepada Bisnis, dikutip Selasa (12/8/2025).
Baca Juga
Sebagaimana diketahui, data PDB kuartal II/2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pekan lalu menunjukkan bahwa belanja pemerintah terkontraksi hingga 0,3% secara tahunan (year-on-year/yoy) dibandingkan tahun lalu.
Namun demikian, PDB menurut pengeluaran kategori pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi melonjak hingga 6,99% yoy atau tertinggi sejak kuartal II/2021. Lonjakan pertumbuhan investasi pada tiga bulan kedua 2025 itu ditopang oleh kenaikan belanja modal pemerintah.
Hasilnya, terang Josua, mesin pertumbuhan bergeser dari belanja operasional ke belanja yang berorientasi aset/kapasitas. Dia menilai hal itu terlihat dari pertumbuhan negatif konsumsi pemerintah, sedangkan pada periode yang sama, investasi tumbuh hampir 7% yoy dan penguatan sektor konstruksi konsisten dengan meningkatnya public capex, atau capital expenditure (belanja modal).
"Dengan kata lain, kontraksi konsumsi pemerintah pada 2Q25 merupakan konsekuensi transisi komposisi belanja yang—bila eksekusinya rapi—lebih pro-pertumbuhan," terangnya.
Kendati demikian, Direktur Ekonomi Digital pada Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda tetap menyoroti bahwa harusnya belanja pemerintah tetap bisa menjadi stimulus ketika daya beli masyarakat masih turun.
Misalnya, belanja di sektor perhotelan atau sektor transportasi dinilai bisa menjadi stimulus bagi ekonomi daerah. Dia pun mengamini efisiensi awal tahun, yang notabenenya menargetkan pos-pos anggaran dimaksud, berdampak negatif setidaknya ke perekonomian hingga kuartal II/2025.
"Sebagai mesin stimulus utama dari pemerintah, belanja negara gagal memberikan dampak yang signifikan. Meskipun ada anggaran yang sebagian dibuka oleh pemerintah. Pertumbuhan pengeluaran pemerintah masih minus atau terkontraksi. Padahal seharusnya ketika daya beli masyarakat masih turun, belanja pemerintah bisa menjadi stimulus yang tepat bagi perekonomian," terang Nailul kepada Bisnis.
Untuk itu, dia berharap pemerintah akan menggeber stimulus perekonomian pada kuartal III dan IV untuk belanja modal dan barang yang dapat menggerakkan perekonomian.