Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) mengharapkan insentif fiskal yang khusus menyasar pada industri-industri yang sedang sekarat. Pasalnya, sejumlah pabrikan diduga menghentikan produksi karena sejumlah tantangan di pasar domestik.
Apalagi, pemerintah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 menaikkan belanja perpajakan untuk sektor industri pengolahan menjadi Rp141,7 triliun atau naik dari proyeksi realisasi tahun ini Rp137,2 triliun.
Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan, insentif fiskal yang diguyur pemerintah selama ini hanya efektif mendorong angka realisasi investasi baru. Sementara itu, kinerja industri existing tertekan hingga banyak kapasitas idle atau berhenti produksi.
"Ini juga sudah cukup bagus [menarik investasi baru], tinggal selanjutnya pemerintah memberikan insentif untuk mengaktivasi kapasitas-kapasitas produksi yang berhenti," kata Redma kepada Bisnis, Kamis (21/8/2025).
Di sisi lain, Redma juga melihat investasi existing yang saat ini terhenti produksinya tidak dijadikan pertimbangan. Padahal, kapasitas produksi yang menganggur saat ini secara nilai investasi diperkirakan lebih besar dibandingkan investasi baru.
Adapun, merujuk pada data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, realisasi investasi sektor industri tekstil yang masuk pada semester I/2025 mencapai Rp10,2 triliun dengan 5.406 proyek. Pada triwulan II/2025, angka investasinya mencapai Rp4,82 triliun.
Baca Juga
"Jadi insentif yang diberikan harus langsung menjadi pengurang atau menurunkan biaya produksi di industri dan menurunkan modal kerja," tuturnya.
Menurut dia, sejumlah insentif fiskal yang mesti diprioritaskan untuk mengaktivasi kapasitas produksi tekstil saat ini yaitu potongan PPN, diskon tarif listrik, harga gas bumi tertentu (HGBT) dengan pasokan 100% andal, dan subsidi bunga untuk modal kerja.
"Tapi insentif ini semuanya harus dikaitkan untuk pembelian bahan baku lokal agar manfaatnya lebih merata dan memperkuat integrasi hulu hilir sekaligus melakukan substitusi impor," terangnya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal APSyFI Farhan Aqil Syauqi mengungkapkan bahwa tren pemutusan hubungan kerja (PHK) masih berlanjut di 2025, meski skalanya tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya.
“Tambahan investasi yang masuk sebesar Rp10,2 triliun patut kita syukuri meski belum bisa menggantikan investasi yang setop, baik dari sisi produksi maupun sisi penyerapan tenaga kerja,” kata Farhan.