Bisnis.com, JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengusulkan sejumlah insentif prioritas yang dapat diberikan pemerintah sebagai langkah mendorong kinerja industri pengolahan atau manufaktur.
Terlebih, pertumbuhan ekonomi pada 2026 dipatok 5,4%. Artinya, manufaktur sebagai motor penggerak ekonomi nasional harus tumbuh melesat. Adapun, pada kuartal II/2025 laju pertumbuhan manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 4,31% (year-on-year/yoy).
Wakil Ketua Umum Kadin Perindustrian Saleh Husin mengatakan, salah satu yang dapat mendorong sektor manufaktur yakni pemberian insentif fiskal dan nonfiskal yang tepat sasaran, sesuai kebutuhan industri sektoral.
"Pertama, insentif fiskal berbasis kinerja, misalnya pengurangan pajak yang dihubungkan dengan realisasi investasi, penciptaan lapangan kerja, atau adopsi teknologi ramah lingkungan," kata Saleh kepada Bisnis, Kamis (21/8/2025).
Artinya, pemerintah dapat memberikan stimulus pengurangan pajak terhadap industri yang memberikan kontribusi besar terhadap serapan lapangan kerja maupun teknologi ramah lingkungan.
Kedua, dukungan riset dan inovasi seperti super deduction untuk research and development (R&D) dan vokasi yang perlu diperkuat agar industri dapat naik kelas dengan sumber daya yang mumpuni.
Baca Juga
"Ketiga, insentif untuk hilirisasi dan substitusi impor yang fokus pada sektor yang mampu mengurangi defisit neraca perdagangan, seperti kimia dasar, farmasi, dan komponen elektronik," terangnya.
Keempat, tak kalah penting dorongan untuk industri hijau dengan memberikan insentif. Hal ini menjadi krusial sejalan dengan agenda transisi energi, insentif untuk industri rendah karbon (misalnya renewable-based manufacturing, circular economy).
Kelima, Kadin juga berharap pemerintah memberikan fasilitas untuk industri kecil dan menengah misalnya dengan pembebasan bea masuk bahan baku bagi sektor padat karya agar daya saing lebih merata.
Adapun, usulan insentif ini juga seiring dengan rencana pemerintah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 yang akan meningkatkan belanja perpajakan untuk sektor industri pengolahan menjadi Rp141,7 triliun pada 2026 atau naik dari proyeksi tahun ini yang mencapai Rp137,2 triliun.
Kenaikan belanja pajak sektor industri pengolahan telah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2021, insentif pajak yang diberikan pemerintah ke sektor manufaktur mencapai Rp72,3 triliun.
Stimulus yang diberikan meningkat pada 2022 menjadi Rp82,2 triliun, kemudian naik menjadi Rp88,8 triliun pada 2023, dan mencapai Rp98,9 triliun pada 2024.
Saleh menilai selama ini struktur insentif yang diberikan masih generik, belum sepenuhnya tepat sasaran. Banyak fasilitas seperti tax holiday, tax allowance, PPN DTP, dan lainnya yang lebih dirasakan oleh industri besar atau padat modal, sementara sektor menengah-kecil yang lebih rentan justru tidak optimal memanfaatkannya.
"Permasalahan non-fiskal lebih dominan. Kendala birokrasi, kepastian hukum, perizinan, tingginya biaya logistik, keterbatasan energi dan ketergantungan bahan baku impor membuat insentif fiskal kurang optimal," tuturnya.
Di sisi lain, permintaan global yang saat ini melemah karena tekanan perlambatan ekonomi dunia akibat konflik geopolitik serta persaingan impor murah membuat insentif tidak langsung terkonversi menjadi peningkatan output.
Tak hanya itu, pihaknya juga masih melihat terdapat keterbatasan penyerapan pelaku usaha karena kendala teknis.
"Banyak perusahaan belum memiliki kapasitas manajerial/teknis untuk menyesuaikan dengan persyaratan insentif, misalnya TKDN, green industry, atau digitalisasi," pungkasnya.