Bisnis.com, JAKARTA - Bagi Indonesia, China se jak lama menjadi mitra utama dalam pembangunan infrastruktur. Namun, dinamika global yang terus bergeser perubahan iklim, transformasi industri, hingga tekanan menuju dekar bonisasi telah membawa hubungan ke dua negara melampaui pembangunan fisik, menuju kerja sama teknologi berkelanjutan.
Peluncuran proyek baterai kendaraan listrik (EV) oleh Presiden Prabowo Subianto bersama para pemimpin korporasi China pada pertengahan 2025 bukan hanya sebuah tonggak, tetapi titik balik strategis.
Bernilai lebih dari US$6 miliar, proyek ini tidak hanya memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global EV, tetapi juga menjadi simbol kepercayaan politik dan sinergi strategis kedua negara.
Di tengah kompetisi global untuk pengaruh, China memandang Asia Tenggara sebagai mitra penting dalam memajukan diplomasi energi hijau. Sebagai ekonomi terbesar di kawasan, Indonesia menjadi pintu masuk alami untuk membangun ekosistem EV berskala regional.
Tak berlebihan bila dikatakan kendaraan listrik kini telah menjadi wajah baru diploma-si Indonesia–China.
MENUJU NZE
Baca Juga
Transportasi menyumbang porsi besar emisi karbon di kota-kota besar Indonesia. Pemerintah telah menetapkan target ambisius: 2 juta mobil listrik dan 13 juta sepeda motor listrik pada 2030. Untuk mencapainya dibutuhkan tek-nologi, investasi, dan ekosistem terintegrasi tiga elemen yang kini diperkuat melalui kemitraan dengan China.
Dengan kepemimpinan global dalam manufaktur baterai, China adalah mitra ideal untuk mempercepat transisi energi Indonesia. Pabrik baterai dan EV yang dibangun bersama bukan hanya mengu-rangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, tetapi juga memperluas akses publik terhadap transportasi hijau.
Model EV China kini lazim terlihat di jalan-jalan Jakarta dan banyak kota di Indonesia, hal ini membuktikan bahwa keberlanjutan dapat terjangkau. Sementara itu, dukungan pemerintah Indonesia berupa insentif fiskal dan pengurangan pajak turut mempercepat adopsi EV di pasar domestik.
Lebih jauh lagi, pemba-ngunan pembangkit listrik tenaga surya terapung dan jaringan pengisian EV dengan teknologi China memperkuat infrastruktur energi bersih Indonesia. Semua ini menunjukkan bahwa kemitraan Indonesia–China bukan hanya menghasilkan produk, tetapi juga fondasi jangka panjang bagi sistem transportasi ren-dah karbon.
Salah satu aspek paling ber-harga dari kemitraan EV ini adalah peluang memperkuat kapasitas teknologi domestik. Indonesia tidak berniat seka-dar menjadi konsumen, melainkan juga produsen.
Produsen seperti SAIC-GM-Wuling yang telah membangun pabrik dan mengintegrasikan ratusan pemasok lokal membuktikan bahwa alih teknologi bukan sekadar slogan. Kolaborasi pelatihan vokasi antara lembaga di Liuzhou, China, dan Indonesia juga telah mengha-silkan pusat pelatihan khusus keterampilan terkait EV.
Kebijakan pemerintah yang mewajibkan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) minimum untuk memperoleh insentif makin mendorong produsen China melakukan transfer teknologi kepada mitra lokal. Dalam jangka panjang, hal ini akan meningkatkan kemampuan Indonesia membangun merek sendiri, berinovasi dalam teknologi baterai, dan memasuki pasar ekspor EV.
Namun, proses ini mem-butuhkan waktu dan kon-sistensi. Alih teknologi tidak terjadi otomatis dengan berdirinya pabrik, melainkan harus dirancang, difasilitasi, dan diserap melalui riset ber-sama, pertukaran ahli, serta keterlibatan aktif universitas dan lembaga riset.
MANFAAT EKONOMI
Yang tak kalah penting, EV bukan hanya kendaraan, mela-inkan membuka jalur baru bagi pertumbuhan ekonomi. Proyek baterai dan EV telah menciptakan puluhan ribu lapangan kerja, khususnya di luar Jawa, di kawasan seperti Halmahera dan Morowali. Wilayah-wilayah ini kini tak lagi dikenal semata karena tambang nikel, tetapi mulai muncul sebagai pusat industri bernilai tinggi.
Data terbaru menunjukkan bahwa ekosistem EV Indonesia menyimpan potensi ekonomi tahunan senilai puluhan miliar dolar AS. Jika dikelola dengan baik, sektor ini dapat menggantikan ekspor berbasis komoditas ekstraktif dengan ekspor berbasis teknologi dan manufaktur.
Rantai nilai EV juga mela-hirkan peluang bisnis baru: daur ulang baterai, layanan pengisian daya, riset material maju, hingga pengembangan logistik inovatif. Semua ini membuka pintu bagi wirausaha lokal, UMKM, dan talenta muda untuk terlibat.
Indonesia kini berada di persimpangan penting: memiliki potensi menja-di tulang punggung rantai pasok global EV. Ini bukan sekadar kemungkinan, tetapi visi yang dapat diwujudkan dengan strategi dan kebijakan yang tepat.
Kemitraan EV Indonesia–China sejauh ini membawa banyak manfaat. Namun, seperti halnya setiap hubungan strategis, ia memerlukan tata kelola yang hati-hati.
Indonesia harus memastikan setiap investasi turut mem-perkuat kapasitas domestik. Kemitraan hijau ini harus berlandaskan saling menghormati dan kesetaraan.
Kita perlu menjamin bahwa kerja sama ini tidak hanya memperkuat daya saing global China, tetapi juga kemandirian dan posisi kompetitif Indonesia.
Selaras dengan prinsip Indonesia mengenai “kemakmuran bersama,” diplomasi EV seharusnya menjadi wahana di mana kepentingan jangka panjang kedua negara bertemu: mewujudkan transformasi industri yang hijau, adil, dan inklusif.
Dalam beberapa tahun mendatang, EV akan menjadi bagian dari keseharian masyarakat Indonesia. Lebih penting lagi, ia akan menjadi simbol transformasi dari ekonomi berbasis sumber daya alam menuju ekonomi ber-basis inovasi dan keberlanjutan.
Kolaborasi dengan China telah menempatkan Indonesia di jalur yang tepat. Namun, perjalanan ini masih panjang. Kepemimpinan visioner, kebijakan yang konsisten, serta kolaborasi lintas sektor akan sangat penting agar energi hijau benar-benar menjadi penggerak masa depan bangsa.
Jika arah ini terus dijaga, bukan tidak mungkin dalam dekade mendatang, EV buat-an Indonesia hasil kolabo rasi strategis dengan China akan melintas bukan hanya di jalan raya nasional, tetapi juga di berbagai belahan dunia, sebagai simbol keberhasilan Asia dalam memajukan diplomasi hijau.