Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ketika Prabowo Bentuk 2 Badan Baru di Tengah Aksi Efisiensi Anggaran

Presiden Prabowo membentuk dua badan baru, Badan Industri Mineral dan Badan Otorita Pantai Utara Jawa, untuk mendukung proyek prioritas meski di tengah efisiensi anggaran.
Presiden RI Prabowo Subianto memberikan kata sambutan dalam acara pemberian Tanda Kehormatan kepada sejumlah tokoh di Istana Negara, Jakarta, Senin (25/8/2025). ANTARA/Fathur Rochman
Presiden RI Prabowo Subianto memberikan kata sambutan dalam acara pemberian Tanda Kehormatan kepada sejumlah tokoh di Istana Negara, Jakarta, Senin (25/8/2025). ANTARA/Fathur Rochman

Bisnis.com, JAKARTA — Alih-alih merampingkan lembaga dan kementerian, Presiden Prabowo Subianto kembali membentuk dua badan baru usai 10 bulan kepemimpinannya. Semuanya dilakukan di tengah efisiensi belanja pemerintah. 

Dua badan itu adalah Badan Industri Mineral dan Badan Otorita Pengelola Pantai Utara Jawa/Badan Otorita Pengelola Tanggul Laut Pantura Jawa. Dua badan yang baru dibentuk pada pemerintahannya itu sejalan dengan sejumlah program maupun proyek prioritasnya. 

Badan Industri Mineral dipimpin oleh Brian Yuliarto, yang kini juga menjabat Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Mendikti Saintek). Usai dilantik Prabowo pagi ini, Brian menjelaskan bahwa badan baru itu akan mengelola industri material strategis yang terkait untuk industri pertahanan. 

"Material strategis ini cukup penting untuk kedaulatan bangsa, dan juga diharapkan bisa meningkatkan ekonomi kita,” kata Brian kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Senin (25/8/2025).

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa mineral yang dimaksud mencakup logam tanah jarang (rare earth) hingga mineral radioaktif, yang memiliki nilai tinggi serta peran penting dalam teknologi modern.

Menurutnya, Indonesia memiliki potensi besar yang harus dikelola secara terintegrasi agar memberi manfaat optimal bagi kepentingan nasional. “Karena ini diharapkan muatan teknologinya cukup banyak, jadi pengembangan di perguruan tinggi terkait mineral logam tanah jarang diharapkan bisa didorong diaplikasikan di industri,” ucap Guru Besar ITB itu.

Selain itu, Prabowo turut membentuk Badan Otorita Pengelola Pantai Utara Jawa/Badan Otorita Pengelola Tanggul Laut Pantura Jawa. Dia melantik Didit Herdiawan Ashaf, yang juga menjabat Wakil Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) itu untuk menakhodai badan anyar tersebut. 

Badan itu bertugas langsung untuk melaksanakan salah satu megaproyek prioritas Prabowo, yakni tanggul laut raksasa atau giant sea wall di kawasan Pantai Utara atau Pantura Jawa. 

“Tupoksi tentunya melaksanakan kegiatan pembangunan tanggul laut di Pantura Jawa untuk menghindari masalah-masalah yang ada kaitannya dengan ekosistem, terutama dengan masyarakat di daerah sana,” ujar Didit lusai dilantik di kompleks Istana Kepresidenan, Senin (25/8/2025).

Terkait fokus kerja awal, Didit menyebut pihaknya akan melakukan konsolidasi internal sebelum melangkah ke tahap pencarian investasi. Kepemimpinan Didit nantinya ditemani oleh Darwin Trisna Djajawinata serta Suhajar Dyantoro, yang ditunjuk menjadi Wakil Kepala Badan Otorita Pengelola Pantai Utara Jawa.

Menurut Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, pembentukan kedua badan itu berangkat dari kebutuhan mendesak yang sudah lama menjadi perhatian pemerintah.

“Badan Pengelolaan Pantai Utara Jawa dibentuk karena adanya kebutuhan nyata. Sejak tahun 1990-an rencana pembangunan Giant Sea Wall atau tanggul laut utara Jawa sudah disusun, mengingat setiap tahun terjadi penurunan muka tanah di wilayah pesisir,” kata Prasetyo di Istana Negara, Senin (25/8/2025).

Sementara itu, alasan pembentukan Badan Industri Mineral berangkat dari perlunya kelembagaan khusus untuk melindungi sekaligus mengoptimalkan pengelolaannya kekayaan mineral di Indonesia. 

“Yang paling mendesak adalah melindungi mineral-mineral strategis kita supaya tidak ke mana-mana, lalu mengidentifikasi, dan berikutnya melakukan riset agar bisa dikelola lebih bermanfaat,” pungkas politisi Partai Gerindra itu.

Di Tengah Efisiensi

Kabinet Prabowo memang terkenal gemuk. Saat 20 Oktober 2024 malam, ketika dia pertama kali mengumumkan kabinetnya, jumlahnya mencapai 50 lebih kementerian/lembaga. 

Setiap kementerian teknis memiliki menteri dan wakil menteri. Beberapa kementerian bahkan memiliki tiga orang wakil menteri seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian BUMN. 

Belum lagi ada pembentukan badan baru seperti di antaranya Badan Pengendalian Pembangunan dan Investigasi Khusus, Badan Penyelenggara Jaminan Halal dan Badan Penyelenggara Haji, yang merupakan pemisahan dari Kementerian Agama. 

Di tengah ingar bingar institusi baru itu, Prabowo juga menggalakkan efisiensi belanja pemerintah. Hal itu pertama kali dilakukannya dengan menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025, Inpres pertama yang dikeluarkannya sebagai Kepala Negara. 

Pada Inpres tersebut, lefisiensi anggaran belanja negara tahun 2025 diatur sebesar Rp306,6 triliun yang terdiri dari Rp256,I triliun belanja pemerintah pusat dan Rp50,59 triliun transfer ke daerah. 

Efisiensi itu sejalan dengan peluncuran program flagship pemerintahan Prabowo, yakni Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). 

Masuk semester II/2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati lalu menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56/2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Beleid ini menjadi pedoman teknis untuk melanjutkan kebijakan efisiensi Presiden Prabowo Subianto. 

Meski demikian, PMK No.56/2025 tidak menuliskan anggaran belanja lainnya dalam pos anggaran yang kena efisiensi. Itu artinya ada pengurangan pos anggaran dari 16 menjadi 15 pos yang diefisiensi kalau membandingkannya dengan jumlah yang tertera dalam Surat Menkeu No: S-37/MK.02/2025. 

Kalau merujuk beleid baru itu, item barang maupun jasa yang menjadi sasaran efisiensi anggaran antara lain, alat tulis kantor; kegiatan seremonial; rapat, seminar, dan sejenisnya; kajian dan analisis; diklat dan bimtek; honor output kegiatan dan jasa profesi; percetakan dan souvenir; sewa gedung, kendaraan, dan peralatan. 

Selanjutnya, lisensi aplikasi; jasa konsultan; bantuan pemerintah; pemeliharaan dan perawatan; perjalanan dinas; peralatan dan mesin; infrastruktur. 

Kepala Biro Layanan Komunikasi dan Informasi Kementerian Keuangan Deni Surjantoro menjelaskan bahwa 15 item belanja yang tercantum dalam PMK No.56/2025 merupakan item belanja yang termasuk dalam kategori belanja barang dan modal.  

Sementara itu, item belanja lainnya yang tercantum dalam S-37 menjadi target identifikasi rencana efisiensi yang dilakukan oleh kementerian/lembaga sebagaimana diatur juga dalam ketentuan yang sama pada Pasal 3 ayat (3) dan ayat (5).  

"Di mana dibuka ruang untuk pemenuhan target efisiensi dari jenis belanja lain sesuai dengan arahan Presiden," imbuh Deni. 

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara juga merespons singkat. Dia juga enggan menjelaskan lebih terperinci efisiensi APBN yang dilanjutkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto setelah pelaksanaan pertama di awal tahun ini.  

Namun demikian, Suahasil menjelaskan bahwa kementeriannya bakal mengumumkan lebih lanjut soal implementasi PMK tersebut. Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) itu menuturkan, efisiensi akan terus dilakukan karena merupakan keinginan setiap lembaga. 

"Kalau efisiensi kan memang sudah menjadi keinginan kita setiap lembaga. Terus mencari efisiensi dalam anggaran. Jadi lanjut terus aja, dalam pelaksanaan, dalam perencanaan," tuturnya di Istana Kepresidenan.

Sejumlah pihak menilai bahwa dampak efisiensi belanja negara yang turut menyasar ke anggaran transfer ke daerah (TKD) itu turut memicu para kepala daerah menaikkan sejumlah pajak daerah. Kasus di Pati, misalnya, di mana Bupati Sudewo didemo publik karena ingin menaikkan PBB-P2 hingga 250%. 

Bantahan Pemerintah

Pada konferensi pers RAPBN 2026, Jumat (15/8/2025), Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian membantah kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) merupakan dampak dari pemberlakukan efisiensi anggaran belanja pemerintah pusat.

Tito menjelaskan bahwa kenaikan PBB-P2 sebetulnya adalah konsekuensi pelaksanaan Undang-Undang (UU) tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD). UU itu mengatur bahwa pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak dan retribusi di daerahnya.

Aturan turunan dari UU HKPD, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No.35/2023 mengatur bahwa pemungutan pajak dan retribusi daerah termasuk NJOP serta PBB-P2 harus berlandaskan peraturan daerah (perda). Kemudian, besaran tarifnya diatur dalam peraturan kepala daerah (perkada).

Tito menyebut beberapa pemerintah daerah yang diketahui menaikkan tarif PBB-P2 di daerahnya karena adanya penyesuaian NJOP yang dapat dilakukan setiap tiga tahun sekali. Penyesuaian NJOP itu mengikuti harga pasar, sehingga kemudian membuat PBB-P2 ikut terkerek naik.

"NJOP dapat dilakukan penyesuaian per tiga tahun sekali karena harga market di daerah itu tanah naik, dan disesuaikan tiga tahun sekali. Tetapi ada klausul, yaitu harus mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Yang kedua juga ada partisipasi dari masyarakat. jadi harus mendengar suara publik juga," terangnya pada konferensi pers RAPBN 2026 di kantor Ditjen Pajak Kemenkeu, Jakarta, Jumat (15/8/2025.

Menurut Mendagri sejak 2019 itu, ada 20 daerah yang diketahuinya menaikkan tarif PBB-P2. Kenaikannya bervariasi antara kisaran 5% sampai dengan 10%, serta ada sejumlah daerah yang melampaui 100%. Jumlahnya mencapai 20 daerah. Salah satunya yakni Pati, yang belakangan ini menjadi sorotan publik karena menaikkan PBB-P2 hingga 250%.

Akan tetapi, dari 20 daerah yang dimaksud, sudah ada dua daerah yang membatalkan peraturan kepala daerah (perkada) ihwal kenaikan tarif PBB-P2 itu. Yakni Pati dan Jepara, di mana dua-duanya berada di Jawa Tengah.

Sementara itu, ada tiga daerah lain yang baru membuat perkada untuk mengerek tarif PBB-P2 pada 2025. Adapun 15 daerah lainnya telah menerbitkan aturan soal kenaikan tarif PBB-P2 sejak 2022-2024.

Untuk itu, Tito membantah apabila efisiensi anggaran belanja pemerintah pusat yang diberlakukan sesuai Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025 secara tidak langsung mendorong penaikan tarif PBB di daerah-daerah.

"Artinya tidak ada hubungannya, 15 daerah, tidak ada hubungannya dengan efisiensi yang terjadi di tahun 2024. Nah jadi sekali lagi inilah inisiatif baru dari teman-teman daerah, hanya lima daerah yang melakukan kenaikan NJOP dan PBB di tahun 2025. Yang lainnya 2022-2024," terang Tito.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dany Saputra
Editor : Edi Suwiknyo
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro